Bimbingan IslamFatwa KedokteranFiqhKesehatan Islam

Hukum Menjadi Pegawai BPJS dan Bekerja di Rumah Sakit Bekerja Sama dengan BPJS

Terlepas dari hukum halal dan haram BPJS, banyak yang bertanya bagaimana hukum bekerja pada bagian yang menerapkan BPJS, pegawai BPJS, tenaga medis yang bekerja di RS atau Klinik yang bekerjasama dengan BPJS

Sebelumnya kami tekankan bahwa hukum BPJS untuk pastinya,maka  perlu didiskusikan bersama, duduk bersama ahli agama, ulama dan pejabat BPJS serta pihak terkait. Karena perlu tahu “fiqhul Waqi” (keadaan di lapangannya) yang sebenarnya cara kerja BPJS,  sehingga bisa dirumuskan dengan benar hukumnya sesuai dengan fiqhul waqi’ yang sebenarnya

Fatwa itu sesuai dengan pemahaman pemberi fatwa dari kasus tersebut, jika berbeda pemahaman maka fatwa bisa berbeda

karenanya ada kaidah fiqhiyah:

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

“Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Sebagai gambaran awal (mohon ini bukan patokan, karena untuk hukum jelasnya, sebagaimana dijelaskan diawal perlu duduk bersama-sama semua pihak). Ini sebagai pengantar untuk membahas hukum bekerja di RS atau klinik yang bekerja sama dengan BPJS.

Maaf, ini adalah hasil diskusi dengan beberapa ustadz dan informasi yang masuk mengenai BPJS (mohon koreksi jika salah, karena ini tahun ketika tahun 2014, mungkin ada perubahan cara kerja dan sistem)

-BPJS bukanlah asuransi yang diharamkan, karena bukan badan asuransi murni. Untung rugi BPJS ditanggung oleh pemerintah, sehingga ini semacam subsidi pemerintah kepada rakyatnya

-BPJS kalau dirinci, tidak semuanya haram, ada pengolongan/ rincinannya

I. Golongan pertama:

Bagi yang tidak mampu, maka gratis dan tidak bayar premi. ini BOLEH karena semacam subsidi dari pemerintah

II. Golongan kedua:

Bagi PNS, polri dan lain-lain

premi dipotong otomatis dari gaji jadi tidak terlambat dan tidak ada denda.

jika benar seperti ini prosedurnya , maka ini juga BOLEH, karena hakikatnya adalah subsidi yang jaminan dari pemerintah

III. Golongan ketiga

selain kedua di atas, membayar premi dan jika terlambat membayar maka dikenakan denda.

ini yang TIDAK BOLEH / HARAM karena denda ini adalah riba

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

“Setiap hutang/pinjaman yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”

SOLUSINYA:

Solusinya adalah denda dihapus, karena inilah sisi pengharaman Ribanya.

Silahkan diatur bagaimana hukuman yang tepat agar masyarakat patuh dan tidak bermudah-mudahan menunggak membayar, misalnya jika terlambat bayar BPJS di putus saja (seperti listrik, kalau mau ada diurus lagi) atau solusi yang lain

Jadi: dengan dihapus denda, BPJS sudah sesuai syariat InsyaAllah. Golongan I-III BPJS sudah sesuai syariat

Bagi masyarakat, masalah ini adalah masalah bersama, jangan kita hanya menuntut pemerintah saja dan ingin “GRATIS” tetapi tidak patuh terhadap anjuran pemerintah.

Dan perlu kerja sama yang baik dan kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan hal ini, tidak bisa saling menuntut. Karena dana anggaran kesehatan untuk negara kita sangat sedikit (jika disbanding negara lain) dan tentunya cakup sulit menuntut kesempurnaan dalam kesehataan dengan dana yang dibilang sangat minim.

Adapun pengelolaan Dana BPJS yang besar, bisa di simpan di bank konvensional asalkan bunganya tidak diambil atau disalurkan pada penyaluran harta riba semisal membangun fasilitas umum. Wallahu a’lam

 

Hukum menjadi pegawai BPJS dan bekerja di RS atau klinik yang bekerja sama dengan BPJS

Fakta yang kita ketahui saat ini bahwa BPJS:

1. Bukan perusaaan asuransi yang diharamkan, karena tidak berdiri sendiri dan ditangung untung-rugi oleh pemerintah. Jadi bukan BPJS yang haram

2. Jika ada yang haram, maka sistemnya yang haram, bukan BPJS nya, yaitu penerapan denda yang termasuk riba pada golongan ketiga

Maka:

A. BOLEH bekerja sebagai pegawai BPJS,

Terlebih jika gaji diperoleh dari pemerintah (bukan kas BPJS), ini sebagaimana status gaji PNS yang halal. Bila digaji dari kas BPJS juga tidak mengapa -insyaAllah-

Karena pendapat terkuat untuk tercampur harta halal dan haram (kas BPJS misalnya bercampur halal dan haram), maka harta tersebut halal.

Dengan syarat:

1. Harta halal dan haram sulit atau susah dipisah

2. Harta haram tidak terlalu mendominasi

Sebagaimana gaji PNS dari dana pemerintah. Dana pemerintah ada yang dari pajak (pajak ada yang haram) ada juga pendapatan pemerintah yang halal semisal BUMN. Maka ini bercampur dan pendapat terkuat adalah halal

Karena:

1. Hukum asal sesuatu adalah halal

Jika ada harta curian yang tidak mungkin dikembalikan, harta tak bertuan dan harta rampasan yang tidak bisa dikembalikan. Maka ditaruh ke baitul mal, jelas beberapa harta ini sumbernya haram. Dan dari baitul mal ini (tercampur halal-haram) digaji para pegawai negara termasuk gaji khalifah.

2. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bermuamalah dengan Yahudi, menerima undangan makan dan lain-lainnya. Padahal kita tahu darimana sumber harta Yahudi mayoritasnya.

 

B. BOLEH menerima gaji dari RS atau Klnik yang bekerja sama dengan BPJS

Karena bercampur harta halal dan haram, penghasilan RS atau klnik tidak hanya dari BPJS saja dan BPJS sendiri jika dirinci, tidak semuanya haram.

 

Note:
1. Sekali lagi, mengenai hukum BPJS yang kami gambarkan bukan final, karena tetap harus tahu benar “fiqhul waqi” realita di lapangan, kami buat sebagai “pengantar” gambaran jika memang seperti itu, maka inilah hukum “menjadi pegawai BPJS dan bekerja di RS yang bekerja sama dengan BPJS”

2. Mohon jika ada Informasi terbaru mengenai sistem kerja BPJS, sehingga bisa didiskusikan

3. Mohon Koreksi jika ada kesalahan, kami menulis ini untuk mencari solusi bersama, bukan untuk ajang berdebat dan saling menyalahkan

4. insyaAllah jika ada waktu luang, kami akan menuliskan lebih lengkap dengan dalil-dalilnya mengenai hukum ini.

Demikian semoga bermanfaat

@Gemawang, Yogyakarta tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

silahkan like fanspage FB , Follow facebook dan   follow twitter

Related Articles

22 Comments

  1. Memang bpjs itu mmberatkan. Jika yg tdk memegang kartunya tdk bs berobat. Misalkan kedua orgtua yg punya kartunya,anaknya sakit itu tdk bs digunakan untk brobat bgm mungkin itu tdk brlaku???

  2. Assalamu’alaikum,

    Dari tulisan di atas Saya menangkap bahwa seakan-akan letak keharaman BPJS hanya pada perkara denda yang diterapkan saja. Yang Saya ingin tanyakan, bagaimana dengan ketidak pastian manfaat yang diterima oleh peserta BPJS? Bukankah ini perkara yang haram? Bukankah didalamnya terkandung unsur Judi dan Ghoror (ketidak jelasan)?

    Sebagai contoh: Jika Saya bergabung dengan BPJS pada usia 30 tahun dan ALLOOH menakdirkan usia Saya hanya sampai umur 70 tahun (semoga ALLOOH memanjangkan umur kita dalam keberkahan), berarti Saya harus membayar premi bulanan sebanyak 480 bulan (40 tahun), dimana jika premi yang dibayarkan perbulan adalah Rp 60.000 maka total yang Saya bayarkan sampai tutup usia adalah Rp 28.800.000. Pertanyaannya bagaimana jika semasa Saya hidup Saya hanya sakit beberapa kali saja yang hanya membutuhkan total biaya perawatan sekitar Rp 10.000.000, bukankah berarti Saya mengalami kerugian yang tidak mampu saya antisipasi? Maka disinilah letak judinya.

    Atau sebaliknya, seandainya pada usia 40 tahun ALLOOH menakdirkan Saya meninggal dunia (semoga ALLOOH memanjangkan umur kita dalam keberkahan) dengan sebuah penyakit yang biaya perawatannya sampai Rp 115.000.000 misalnya, bukankah berarti BPJS mengalami kerugian yang tidak bisa mereka antisipasi? Maka disini juga termasuk unsur perjudiannya.

    Lantas bagaimana jika ternyata ALLOOH tidak menakdirkan Saya sakit sampai akhir hayat, bukankah berarti premi yang Saya bayarkan merupakan kerugian yang sia-sia, karena tidak ada kejelasan kapan manfaatnya bisa saya dapatkan? Di sinilah unsur Ghorornya.

    Atau sebaliknya, dimana Saya baru membayar premi selama 3 bulan, tiba-tiba ALLOOH menakdirkan Saya sakit yang biaya pengobatannya mencapai angka Rp 120.000.000 misalnya (seperti operasi jantung dan tindakan-tindakan mahal lainnya), bukankah ini kerugian yang tidak terduga sebelumnya oleh BPJS? Maka di sinilah letak unsur Ghorornya.

    Jika dikatakan akdanya adalah ta’awun (tolong menolong), maka dalam tolong menolong tidak boleh disyaratkan manfaat atau pamrih bagi pihak yang menolong. Karena hukum dasar tolong menolong adalah dilakukan tanpa pamrih, jika menuntut pamrih maka ini sama saja dengan transaksi biasa, dimana yang membayar meminta balasan berupa barang atau jasa. Sedangkan dalam kontrak BPJS, si pembayar premi (atau si penolong) mensyaratkan wajibnya manfaat bagi dirinya jika ia suatu saat jatuh sakit dan membutuhkan biaya pengobatan. Maka ini bukanlah akad tolong menolong yang benar.

    Dan juga WaLLOOHU a’lam, setahu Saya akad BPJS adalah akad asuransi konfensional (mhn dikoreksi jika salah), dimana si pembayar premi membayar untuk kepastian mendapat manfaat dikemudian hari, bukan untuk menolong pihak lain yang sedang ,mengalami musibah. Artinya pembayaran premi tersebut terikat dengan syarat kepastian untuk mendapat manfaat dikemudian hari (walaupun tidak jelas kapannya), jika tidak ada manfaat yang dijanjikan sudah barang tentu si pembayar premi tidak akan mau membayarkan preminya.

    Jadi berdasarkan uraian di atas, Saya beranggapan masih banyak yang perlu dirubah dari BPJS jika ingin mendapat predikat halal, bukan hanya bagian dendanya saja. Mekanismenya harus dirubah secara total, jika ingin mengadopsi mekanisme tolong menolong, maka harus ada donatur tetap yang tidak disyaratkan manfaat untuknya. Jika ingin menggunakan mekanisme jaminan sosial swadaya masyarakat, maka premi yang tidak terpakai untuk biaya pengobatan wajib dikembalikan kepada si anggota, shingga hilanglah unsur judi dan ghoror di dalamnya. WaLLOOHU a’lam.

    Saya hanya ingin berbagi dan mencari ‘ilmu, jadi mohon tanggapannya, bisa jadi Saya yang keliru dan Kalian yang benar. Maka ini akan menjadi ‘ilmu baru bagi Saya dan bagi orang lain yang membaca.

    Wassalamu’alaikum
    Raihan Bahasoean

    1. Wa’alaikumussalam, atas masukknya,
      saya melihat fakta bahwa BPJS bukan asuransi konvensional, krna untung ruginya ditangggung oleh negara
      Jdi ini poin perbedaan padangannya

      1. Assalamualaikum wr wb.

        Maaf, saya (muslim) adalah orang yg tidak terlalu mengetahui secara detail dari hukum islam. Tapi secara awam saya lebih setuju dengan pendapat pak raihan diatas.
        Ditambah lagi bahwa saya telah mengalaminya sendiri. Jelas2 secara tertulis di website bpjs bahwa bpjs itu untuk keluarga dimana pendaftarannya pun melampirkan kartu keluarga, sehingga dalam satu keluarga itu hanya ada satu iuran sesuai KK. Kenyataannya pak : Saya & istri bekerja dalam perusahaan yg berbeda (berarti kami termasuk gol III) dan kami tetap dalam 1 KK. Istri yg pertama didaftarkan oleh perusahaannya tapi ternyata didaftarkan sebagai sengli (belum menikah) dan anehnya seluruh rekan2 dia dalam satu perusahaan pun yg wanita juga dianggap single (padahal mereka semua sudah berkeluarga. Setelah saya tanyakan ke BPJS mereka sarankan saya untuk mendaftarkan sendiri untuk saya & anak2 saya. Otomatis dalam keluarga saya membayar 2 iuran (walaupun istri ditanggung oleh perusahaannya). Saya pernah usulkan bhw saya & anak2 saya ditambahkan aja ke BPJS istri dan saya tinggal menambahkan kekurangannya, tapi itu ditolak oleh BPJS. Disinilah saya melihat kecurangan dari BPJS, karena secara tidak langsung saya merasa dirugikan.
        Apabila ada saran untuk menyampaikan pesan tetang BPJS ini ke pemerintah (yg mewajibkan BPJS ini bagi warganya), maka saya ingin menyampaikan ini.

      2. Dan saya yakin, perlakuan seperti di perusahaan istri saya tidak hanya terjadi di 1 perusahaan saja. Semoga ini menjadi pemberitahuan bagi pemerintah, bahwa ada ketidakadilan disini.
        Terimakasih

  3. 2015 tidak ada BPJS yang gratis. Premi paling kecil sebesar Rp. 25.000. Itu pun saat dipakai di rumah sakit biayanya tdk tercover oleh BPJS. pasien msh harus membayar obat dan lainnya. Karena obat dan yang lainnya tdk sama diberikan dg BPJS yang preminya lebih besar. Lagi pula premi yg telah disetor tdk bisa diambil jd kn rugi.

      1. Kalau yg th ini baru daftar tdk ada yg program gratis itu pak untuk mandiri ( tdk bekerja d perusahaan), meskipun sudah mengantongi surat keterangan tidak mampu dari RT,RW dan kelurahan setempat, tetap diikutkan yg kelas 3 jdi harus tetap bayar premi, ada sedikit keraguan ustad, mau ikut bpjs tkut, mau tdk ikut sbnarnya butuh untuk putra kmi yg menderita ROP karena lahir prematur

  4. Bagaimana dengan asuransi konvensional, dimana banyak rumah sakit bekerjasama. Bahkan Rumah sakir muslim juga. Saya sebagai dokter hanya melakukan pengobatan disana tanpa ikut “ijab kabul” keejasama RS dengan asuransi terkait, dan juga bukan “home doctor” rumah sakit tersebut. Bolehkan saya menerima jasa atas pasien asuransi yang membutuhkan jasa saya? Barakallahu fiikum

      1. Maksud saya jasa medis perpasien asuransi konvensionalnya boleh saya gunakan atau tidak?

  5. Afwan ustadz… untuk masalah bpjs mungkin bisa didiskusikan dengan ust. Erwandy Tarmizi beliau Insya Allah Faqih dalam muamalah kontemporer. Sehingga tidak bermudah2an dalam menghalalkan sesuatu yg ghoror (tidak jelas) barakallahu fiikum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button