Menutup Diri Dan Menjauh Dari Orang Lain Ketika Menunaikan Hajat (Terutama Buang Air Kecil)
Di WC umum khusus laki-laki ada kloset untuk Buang air kecil (BAK) yang dirancang untuk BAK sambil beridri. Memang terlihat agak tertutup karena dibatasi papan pembatas. Kita mendapati model WC umum seperti ini di mana-mana, di pusat perbelanjaan, perkantoran, bandara, sekolah, terminal dan lain-lain.
Seorang muslim hendaknya memperhatikan adab ketika menunaikan hajat. Hendaknya ketika BAK di WC semacam ini, ia tidak kencing di kloset model tersebut, akan tetapi hendaknya masuk ke kamar mandi dalam WC umum tersebut, karena tertutup dan tidak dilihat oleh orang lain.
Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1]
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu– dia berkata,
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَالَ يَا مُغِيرَةُ خُذْ الْإِدَاوَةَ فَأَخَذْتُهَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَهُ
“Aku pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam suatu perjalanan, lalu beliau bersabda, “Wahai Mughirah, ambilkan segayung air.” Aku lalu mengambil air untuk beliau, kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pergi menjauh hingga tidak terlihat olehku, lalu beliau buang hajat.”[2]
Muhammad Asyraf bin Amir Aabadi menjelaskan dalam “aunul Ma’bud”,
أي هذا باب في التخلي عن الناس عند قضاء الغائط والمراد بالتخلي التفرد
“Bab ini mengenai “menjauh dari manusia katika menunaikan hajat”, yang dimaksud dengan menjauh adalah menyendiri.”[3]
Seakan-akan sepele, tapi Islam memperhatikannya
Mungkin ada yang berkomentar,
“ah seperti itu terlalu diatur-atur, yang gampang kok dibuat rumit”
Maka kita katakan justru ini menunjukkankesempurnaan agama Islam, karena Islam memperhatikan masalah yang kecil, maka masalah yang lebih besar tentu Islam sudah mengatur dan memperhatikannya.
Sebagimana kisah ketika seorang kafir jahiliah ketika ia berkata kepada sahabat Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ
“Sungguh Nabi kalian- Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mengajari kalian tentang segala hal sampai tata cara buang air”.
Maka Salman menjawab,
أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Betul, Sungguh kami dilarang menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil, (kami juga dilarang) cebok dengan menggunakan tangan kanan atau cebok kurang dari 3 batu, atau cebok dengan kotoran hewan atau tulang”.[4]
@Ruang Diklit RS. Sardjito- Yogya, 2 Rabi’us Tsani
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] HR. Ibnu Majah (I/121 no. 335), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/19 no. 2) Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 268)
[2] HR. Al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274
[3] ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawus 1/9, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1415 H, syamilah
[4] HR. Muslim no.262, Abu Dawud no. 7, At-Tirmidzi no.16, An-Nasa’i no.41 & 49, Ibnu Majah no.316