Ada Terapi Minum Urin Yang Tidak Haram
Perlu kita ketahui bahwa terapi autourin yang yaitu meminum urin sendiri adalah haram dalam syariat. Walaupun ada beberapa pihak yang mengklaim hal ini sebagai obat yang mujarab dengan menggunakan prinsip homeopathy yaitu salah satu prinsip kembali ke kembali dari asal yang dibuang
Terapi autourin secara syariat
Jelas hukumnya HARAM. Karena urin manusia hukumnya haram. Karena urin manusia hukumnya na’jis dan haram dimakan.
Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam bersabda,
عباد الله تداووا ولا تتداووا بحرام
“Wahai Hamba Allah, berobatlah kalian, janganlah berobat dengan yang haram” [1]
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan/obat pada apa yang Allah haramkan bagi kalian”[2]
Sedangkan pendangan medis terhadao terapi autourin, masih diragukan kebenarannya karena jelas fungsii utma ginjal adalah menyaring darah dari berbagai kotoran yang akan dibuang. Zat-zat yang dirasa tidak bermanfaat lagi akan dibuang. Dan juga kita kan merasa jijik untuk meminumnya.
Terapi urin yang boleh
Yaitu terapi menggunakan urin unta dipadukan dengan susu unta. Sebagaimana pada kisah dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu a’nhu yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain dan lainnya,
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah) datang menemui Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Rasulullah r pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi r dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.”[3]
Kencing hewan yang boleh dimakan hukumnya suci dan tidak najis, oleh karena itu urin unta suci.
Dan perlu diperhatikan di sini bahwa, kita sekarang tidak sembarangan atau asal-asalan meminum air kencing unta dan susu tanpa takaran dan dosis yang tepat, serta lama terapinya. Karena dalam hadits menjelaskan masih bahannya saja perlu pengalaman thabib atau dokter untuk meramunya menjadi obat.
sebagaimana penjelasan dalam hadits berikut.
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”[4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,
فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[5]
@Lab Patologi Klinik RS Sardjito,8 Sya’ban 1434 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan follow twitter