Peran Harta dalam Menegakkan Dakwah

[Rubrik: Faidah Ringkas]
Tak ada yang meragukan bahwa modal utama dalam berdakwah adalah ilmu. Seorang dai harus mengetahui apa yang ia serukan dan apa yang ia larang, agar selaras dengan kehendak Allah, sehingga ia tidak berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,
قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf: 108)
Seorang dai membutuhkan bashirah, yaitu ilmu dan pemahaman yang mendalam: mencakup ilmu tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan, pengetahuan tentang kondisi orang yang ia dakwahi, serta kemampuan memahami metode dakwah yang tepat.
Namun kelancaran dakwah tidak cukup hanya bermodalkan ilmu. Ada kebutuhan mendesak lain yang menjadi penopang utama keberlangsungan dakwah, yaitu harta. Sejarah dakwah Islam sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan bahwa ilmu dan harta adalah dua kekuatan yang harus berjalan beriringan. Di sinilah pentingnya sinergi antara orang berilmu dan orang berharta dalam menegakkan agama Allah.
Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang. Pertama, orang yang Allah anugerahkan harta, lalu ia infakkan pada jalan kebaikan. Kedua, orang yang Allah beri ilmu, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Dakwah tidak akan berjalan jika hanya mengandalkan ilmu tanpa dukungan dana, dan tidak akan lurus jika hanya bermodal harta tanpa panduan ilmu. Inilah hikmah besar di balik pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Beliau adalah saudagar kaya yang sepenuhnya mendukung perjuangan dakwah suaminya. Harta Khadijah menjadi kekuatan besar di masa-masa awal Islam yang penuh ujian dan tekanan.
Selain Khadijah, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu juga termasuk saudagar kaya yang menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Ketika Bilal radhiyallahu ‘anhu disiksa oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf, Abu Bakar-lah yang membelinya dan memerdekakannya karena Allah, sebab Nabi saat itu belum memiliki kemampuan finansial untuk menebus Bilal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan bersabda:
مَا نَفَعَنِي مَالٌ قَطُّ مَا نَفَعَنِي مَالُ أَبِي بَكْرٍ
“Tidak ada harta yang lebih bermanfaat bagiku melebihi hartanya Abu Bakar.”
Mendengar sabda itu, Abu Bakar pun menangis dan berkata:
مَا أَنَا وَمَالِي إِلَّا لَكَ
“Tidaklah diriku dan hartaku kecuali untukmu, wahai Nabi.” (HR Tirmidzi, no. 3661)
Setelah Islam berkembang, memang banyak sahabat lain yang berinfak dengan jumlah besar. Namun, kebutuhan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di masa awal jauh lebih mendesak. Di masa itulah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyalurkan hartanya, sehingga manfaatnya jauh lebih besar dibanding sumbangan siapa pun di masa berikutnya.
Maka benar, dakwah butuh ilmu dan butuh harta. Ilmu untuk membimbing arah, harta untuk menggerakkan langkah. Siapa pun yang diberi kelapangan rezeki hendaknya meneladani Khadijah dan Abu Bakar dengan menginfakkan hartanya demi tegaknya agama Allah. Sebab dari sinilah dakwah bisa terus berjalan, ilmu bisa tersebar, dan umat bisa merasakan manfaatnya hingga hari ini.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)



