Jangan Sering Sendiri & Hidup Menyendiri

[Rubrik: Faidah Ringkas]
Dalam kehidupan, manusia adalah makhluk sosial. Ia diciptakan Allah untuk saling berinteraksi, bekerja sama, dan berbagi. Syariat Islam sejak awal telah mendorong umat Islam untuk hidup bersama di atas ketakwaan. Jika terjadi perselisihan atau konflik, maka diperintahkan untuk segera mendamaikannya. Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS Al-Hujurat: 10)
Syariat Islam bahkan menilai bahwa hidup berinteraksi dengan orang lain, meski harus menghadapi kekurangan dan akhlak buruk mereka, lebih baik daripada hidup menyendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi no. 2507)
Menyendiri terlalu lama bukan hanya membuat hidup terasa sepi dan tidak menyenangkan, tetapi juga dapat menimbulkan masalah baru. Alih-alih lepas dari berbagai persoalan, hidup menyendiri justru bisa mendatangkan beban tersendiri. Ilmu psikologi modern pun membuktikan bahwa banyak gangguan kejiwaan muncul karena seseorang terlalu sering sendiri: tidak pernah berbicara, tidak memiliki teman dekat, tidak punya tempat berbagi, dan selalu memendam masalah sendiri. Akibatnya, beban pikiran menumpuk hingga menimbulkan stres, kecemasan, bahkan gangguan kepribadian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan bahaya hidup menyendiri. Beliau bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ القَاصِيَة
“Tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud No. 547)
Menariknya, bahkan Nabi Musa ‘alaihissalam, seorang nabi yang mulia, ketika menghadapi Fir’aun berdoa agar Allah mengangkat saudaranya, Nabi Harun, sebagai pendampingnya. Beliau berdoa:
وَاجْعَلْ لِّيْ وَزِيْرًا مِّنْ اَهْلِيْ ۙ هٰرُوْنَ اَخِى ۙ اشْدُدْ بِهٖٓ اَزْرِيْ ۙ وَاَشْرِكْهُ فِيْٓ اَمْرِيْ ۙ
“Jadikanlah untukku seorang penolong dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengannya, dan sertakan dia dalam urusanku (kenabian).” (QS Thaha: 29-31)
Nabi Musa tidak ingin berjuang sendirian. Ia butuh teman seperjuangan, tempat berbagi, sekaligus teman diskusi.
Jika seorang nabi saja membutuhkan pendamping, apalagi kita sebagai manusia biasa tentu lebih membutuhkan sahabat yang baik. Maka, jangan biasakan hidup sendiri. Carilah lingkungan yang baik, teman yang shalih, dan sahabat yang bisa mengingatkan dalam kebaikan.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)