Menggerakkan Bibir Ketika Berdoa Dan Berdzikir (Mulut dan Bibir Tidak Diam)
Ketika selesai shalat fadhu, mungkin kita mendapati beberapa orang yang berdzikir setelah shalat. Tangan kanannya aktif menghitung dzikir akan tetapi mulut dan bibirnya diam. Maka ini adalah cara berdzikir dan berdoa yang perlu kita luruskan bersama.
Pengertian dzikrullah
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وإذا أطلق ذكر الله : شمل كل ما يقرِّب العبدَ إلى الله من عقيدة ، أو فكر ، أو عمل قلبي ، أو عمل بدني ، أو ثناء على الله ، أو تعلم علم نافع وتعليمه ، ونحو ذلك ، فكله ذكر لله تعالى .
“jika dimutlakkan kata “dzikrullah”, maka (maksudnya) mencakup segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah berupa aqidah, pemikiran, amalan hati, amalan badan, pujian kepada Allah, mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengajarkannya dan lain-lain. Maka semua ini adalah dzikrullah Ta’ala”[1]
Perlu diketahui ulama membagi dzikir menjadi dua: dzikir lisan dan dzikir hati (ada yang menambahkan dengan dzikir anggota badan). Sebagaimana perkataan syaikhul Islam Ibnu Taiimiyyah rahimahullah,
النَّاسَ فِي الذِّكْرِ أَرْبَعُ طَبَقَاتٍ : إحْدَاهَا : الذِّكْرُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَهُوَ الْمَأْمُورُ بِهِ
“Manusia dalam hal dzikir ada 4 tingkatan, yang pertama dzikir dengan hati dan lisan, maka ini diperintahkan.”[2]
Maka dzikir dengan hati bukan yang kita bahas dalam artikel ini, karena yang kita maksud dalam artikel ini adalah dzikir lisan, adapun yang dimaksud dengan dzkir hati adalah dengan merenungi dan memikirkan kebesaran Allah, bukan dzikir di dalam hati (mbatin). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
وصفة الذِّكر بالقلب : التفكر في آيات الله ، ومحبته ، وتعظيمه ، والإنابة إليه ، والخوف منه ، والتوكل عليه ، وما إلى ذلك من أعمال القلوب .
“Tata cara berdzikir dengan hati (dzikir hati) adalah merenungi ayat-ayat Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, dan kembali kepada-Nya, takut, tawakkal dan lain-lainya berupa amalan hati.”[3]
Berdzikir dengan lisan dengan menggerakkan bibir
Allah Ta’ala menyebutkan dalam Al-Quran,
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (berdzikir/ membaca Al Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya .” (AL-Qiyamah: 16)
Ibnu Rusyd menukilkan,
عن الإمام مالك رحمه الله أنه سئل عن الذي يقرأ في الصلاة ، لا يُسْمِعُ أحداً ولا نفسَه ، ولا يحرك به لساناً . فقال :
” ليست هذه قراءة ، وإنما القراءة ما حرك له اللسان ” انتهى .
“Imam Malik rahimahullah ditanya mengenai orang yang membaca dalam shalat (termasuk berdzikir), suaranya tidak didengar oleh seorangpun dan tidak juga dirinya, ia tidak menggerakkan lisannya, maka Imam Malik berkata,
“Ini bukan termasuk membaca (berdzikir), berdzikir itu dengan menggerakkan lisan”[4]
Al-Kasani rahimahullah berkata,
القراءة لا تكون إلا بتحريك اللسان بالحروف ، ألا ترى أن المصلي القادر على القراءة إذا لم يحرك لسانه بالحروف لا تجوز صلاته
“Membaca (berdzikir) harus dengan menggerakkan lisan (mengucapkan) huruf-huruf. Jika engkau melihat seseorang shalat, ia mampu membaca akan tetapi ia tidak menggerakkan lisannya (mengucapkan) huruf-huruf, maka tidak sah shalatnya.”[5]
Dan Fatwa ulama di zaman ini juga demikian, syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
لا بد من تحريك اللسان، ولا بد من صوت، وإلا ما يسمى قارئ، من قرأ في قلبه فقط ما يسمى قارئ، لا بد من شيء عند القراءة والذكر حتى يسمى ذاكراً، ويسمى قارئاً، ولا يكون ذلك إلا باللسان، لا بد من كونه يسمع نفسه، إلا إذا كان به صمم، فهو معذور،
“Berdzikir itu harus menggerakan lisan dan harus bersuara, minimal didengar oleh diri sendiri. Orang yang membaca di dalam hati (dalam bahasa arab) tidak dikatakan Qaari. Orang yang membaca tidak dapat dikatakan sedang berdzikir atau sedang membaca Al Quran kecuali dengan lisan. Minimal didengar dirinya sendiri. Kecuali jika ia bisu, maka ini ditoleransi”[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
” القراءة لابد أن تكون باللسان ، فإذا قرأ الإنسان بقلبه في الصلاة فإن ذلك لا يجزئه ، وكذلك أيضاً سائر الأذكار ، لا تجزئ بالقلب ، بل لابد أن يحرك الإنسان بها لسانه وشفتيه ؛ لأنها أقوال ، ولا تتحقق إلا بتحريك اللسان والشفتين ” انتهى .
“Qira’ah itu harus dengan lisan. Jika seseorang membaca bacaan-bacaan shalat dengan hati saja, ini tidak dibolehkan. Demikian juga bacaan-bacaan yang lain, tidak boleh hanya dengan hati. Namun harus menggerakan lisan dan bibirnya, barulah disebut sebagai aqwal (perkataan). Dan tidak dapat dikatakan aqwal, jika tanpa lisan dan bergeraknya bibir” [7]
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.
@pogung-Lor-Jogja, 22 Jumadal Awwal 1434 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Ar-Riyadhun Nadhrah hal 145
[2] Majmu’ Al-Fatawa 10/556, Majma’ Malik Fahd, 1416 H, syamilah
[3] Tafsir surat Al-Baqarah, 2/167-168
[4] Al-Bayan waat Tahsil 1/491, Darul gharbil Islamiy, cet. II, 1408 H, syamilah
[5] Badhai’us Shana’i 3/55, darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cet. II, 1406 H, syamilah
[6] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/104
[7] Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13/156