Bimbingan IslamFatwa KedokteranFiqhKesehatan Islam

Wajarkah Dokter Dipenjara Jika Melakukan Malpraktek?

Sedang hangat topik di dunia nyata dan dunia maya mengenai kriminalisasi dokter. Apakah pantas hukuman penjara bagi dokter? Apakah wajar jika dokter melakukan malpraktek kemudian hukumannya dipenjara?

Alhamdulillah agama Islam adalah agama yang sempurna, mengenai malpraktek dan hukumannya sudah diatur dalam agama Islam.

Jika melakukan malpraktek harus bertanggung jawab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[1]

Dan banyak sekali penjelasan dari ulama mengenai hal ini.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,

فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة

“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya[2]

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[3]

 

Hukuman malpraktek adalah mengganti diyat (ganti rugi)

Jika seorang dokter yang sudah ahli (mendapat gelar dokter, baik umum maupun spesialis dan sudah teruji) kemudian dia melakukan kecerobohan yang TIDAK WAJAR (misalnya ketinggalan gunting diperut pasien ketika operasi, dan hal ini sudah dibahas dalam ilmu kedokteran rinciannya). Maka ia wajib mengganti rugi berupa membayar diyat.

 

Al-khathabi rahimahullahu berkata

لا أعلم خلافاً فى أن المعالِج إذا تعدَّى، فتَلِفَ المريضُ كان ضامناً، والمتعاطى علماً أو عملاً لا يعرفه متعد، فإذا تولَّد من فعله التلف ضمن الدية، وسقط عنه القَودُ، لأنه لا يستبِدُّ بذلك بدون إذن المريض وجنايةُ المُتطبب فى قول عامة الفقهاء على عاقِلَتِه

“Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.” [4]

 

Dokter kompeten, tidak melakukan kesalahan kemudian terjadi kerusakan TIDAK WAJIB mengganti rugi

Adapun jika dokter tersebut sudah ahli (kompeten), kemudian melakukan sesuai dengan prosedur (tidak melakukan kelalaian) kemudian terjadi kerusakan atau bahaya, maka TIDAK PERLU mengganti rugi, karena ia sudah mendapat izin dari pasien untuk mengobati

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

أن الطبيب الحاذق ونحوه إذا باشر ولم تجن يده ، وترتب على ذلك تلف ، فليس بضامن ؛ لأنه مأذون فيه من المكلف أو وليه . فكل ما ترتب على المأذون فيه ، فهو غير مضمون

Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi.”[5]

 

Maksud mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau diobati oleh dokter atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan padanya. Hal ini diperkuat dengan kaidah fiqhiyah.

ما ترتب على المأذون فهو غير مضمون, و العكس بالعكس

“Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi, dan kebalikannya”[6]

 

Dan berikut rincian kasus malpraktek yang semuanya hukumannya berupa ganti rugi membayar diyat.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu merincinya ada lima pembagian:

1. Dokter yang mahir, melakukan praktek sesuai standar dan tidak melakukan kecerobohan

Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus bertanggung jawab dengan mengganti.

 

“Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya pasien mendapat obat dari dokter, kemudian dokter sudah bertanya apakah ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka pasien menjawab tidak tahu, kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian pasien memilih menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada pasien tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga karena kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika sudah dicoba mengkonsumsi.”

 

2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktek kedokteran

Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau ganti rugi berupa diyat.

 

“Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya mahasiswa kedokteran yang masih belajar [co-aas] dan dia tidak menyiapkan diri untuk melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang merugikan pasien maka ia wajib bertaggung jawab.”

 

3. dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan kecerobohan.

Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal [kas negara].

 

“Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien, kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib bertanggung jawab.”

 

4. dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam ijtihadnya

Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa dari baitul mal [kas negara] atau harta keluarganya.

 

5. dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa izinya tetapi mendapat izin walinya

Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu mengganti.[7]

 

Mengapa hukumannya sekedar mengganti rugi (bayar diyat)?

Karena dokter tidak berniat mencelakakan pasien bahkan berniat membantu pasien. Kita tahu dalam ilmu fiqh bab Al-Jinayat hal ini di bahas. Jika melakukan bahaya dan kerusakan pada orang lain maka harus diqishas jika sengaja dan jika tidak sengaja maka harus mengganti rugi atau membayar diyat.

Kita ambil contoh kasus pembunuhan ada 3 jenis:
1. Pembunuhan sengaja dan diniatkan (عمد), maka hukumananya bisa diqishah

2.pembunuhan tidak sengaja (غير عمد), hukumannya bayar diyat, misalnya tidak sengaja menabrak

3.pembunuhan semi sengaja (شبه عمد), hukumannya juga bayar diyat, misalnya dia menempeleng orang kemudian mati (padahal tempeleng insyaAllah tidak membuat mati).

 

Bisakah dokter malpraktek dihukum di penjara?

Bisa saja, jika hukuman ini berasal dari peraturan pemerintah. Di mana dalam Islam, pemerintah berhak mengeluarkan kebijaksanaan hukuman tertentu pada kasus kejahatan tertentu. Hal ini di kenal dalam Islam sebagai hukuman Ta’zir. Yaitu hukuman yang bisa membuat jera dan manusia tidak akan coba-coba melakukannya. Misalnya pemerintah menerapkan hukuman mati bagi pemerkosa atau hukuman cambuk di depan publik.

Ringkasnya ta’zir adalah hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah walaupun tidak ada dalam syariat atau tidak dijelaskan dalam syariat.

Al-Mawardi menukil perkataan An-Nawari

التعزير : هو التأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود .

 “At-Ta’zir adalah hukuman terhadap suatu pelanggaran yang tidak dijelaskan  oleh syariat hukumannya”[8]

Untuk kasus dokter, Misalnya terlalu banyak dokter yang gadungan, terlalu banyak yang tidak update ilmunya. Sudah dibuat peringatan dan hukuman diyat tetapi tidak mempan. Kemudian pemerintah merasa hukuman yang tepat adalah penjara untuk mencegah merajalelanya para dokter seperti ini. Maka hal ini diperbolehkan dalam Islam.

 

Hukuman penjara (kriminalisasi) dokter yang tidak wajar

Beberapa poin alasan sehingga kami anggap tidak wajar:

1.jika dokter yang kompeten dan tidak melakukan kelalaian, sudah mendapat izin pasien kemudian terjadi kerusakan/bahaya, maka dokter tidak perlu bertanggung jawab

2.dijelaskan hukumannya adalah diyat (mengganti rugi), karena dokter tidak berniat mencelakai bahkan berniat membantu

3.pemerintah tidak setuju dengan hukuman penjara (jika berdalih bahwa penjara dalah ta’zir dari pemerintah). Hal ini terbukti bahwa pemerintah (dalam hal ini adalah menteri kesehatan yang diberi wewenang oleh presiden dan lembaga negara), meteri kesehatan tidak setuju dengan dokter dipenjara. Bahkan dalam kasus dokter dipenjara, menteri kesehatan berusaha menangguhkan penahanan dokter tersebut.

Silahkan baca beritanya di:

POGI dan Menkes Sama-sama Upayakan dr Ayu Keluar dari Penjara
http://health.detik.com/read/2013/11/17/150108/2415206/763/pogi-dan-menkes-sama-sama-upayakan-dr-ayu-keluar-dari-penjara

 

Demikian penjabaran, semoga bermanfaat, kami mengharap saran dan kritikan membangun terkait hal ini, semoga bisa didiskusikan dengan baik.

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

 

@Pogung Lor, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 


[1] HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar

[2] Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[3] Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H

[4] Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[5] Bahjah Qulubil Abrar hal. 156, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H

[6] Al-Qawaaidul Ushuul Jaami’ah hal. 21, Darul Wathan, Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H

[7]  lihat Thibbun Nabawi hal. 88-90, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[8] Al-Ahkamus Sulthaniyyah hal 236

Related Articles

3 Comments

  1. Mohon maaf sebelumnya.

    Saya masih kurang paham dengan aplikasi ta’zir dalam artikel di atas:

    “jika berdalih bahwa penjara dalah ta’zir dari pemerintah”

    Dalam kasus hukum, yang berhak menentukan ta’zir apakah:

    [a] pemerintah (eksekutif: presiden/menteri)

    atau

    [b] institusi hukum (yudikatif: polisi/hakim)

    ?

    Contoh:

    1) Kasus penerjemah dan editor buku “Lima Kota”

    http://sugiantoyusuf.wordpress.com/2012/06/14/buku-lima-kota-jangan-buru-buru-menghukum-penerjemah-dan-editor/

    http://www.tempo.co/read/news/2012/06/14/214410471/Kasus-Buku-5-Kota-Kata-Polisi-Itu-Hak-FPI

    Putusan akhirnya: editor dan penerjemah mendapat hukuman penjara. Yang memutuskan adalah pengadilan, bukan Menteri Kehakiman dan HAM.

    2) Kasus seorang ikhwah yang dipenjara karena dianggap melanggar UU ITE

    http://www.facebook.com/notes/sukpandiar-idris-advokat-as-salafy/inilah-ringkasan-duplik-jawaban-atas-tangkisan-jaksa-kasus-abu-fahd/573569349338611

    Yang memutuskan ikhwah tersebut dipenjara atau tidak adalah pengadilan (hakim) bukan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).

    Dilihat dari sudut pandang syariat, berarti hukum ta’zir ditentukan oleh pihak eksekutif atau yudikatif?

    Mohon maaf jika pertanyaan saya kurang berkenan. Jazakallohu khayran atas jawaban dan ilmunya.

    1. terima kasih atas masukannya, yang memutuskan adalah wakil resmi dari pemerintah dalam hal ini pengadilan,

      tetapi tentu saja sebelum membuat UU ttg hal ini, maka ada masukan dari bidang terkait..
      misalnya UU IT, tentu ada masukan dari bagian menteri kominko..

      hukum ta’zir (UU penetapannya) ditentukan bersama2 dari eksekutif dan yudikatif, adapun vonisnya adalah yudikatif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button