Hasil Tes DNA Kasus Perzinahan Tidak Diterima Dalam Hukum Islam (Nasab Syar’i)
Sering kita mendengar tes DNA untuk memastikan siapkah orang tua (bapak) dari anak yang dikandung oleh seorang wanita. Tes ini diklaim cukup valid, sehingga sering dipakai dalam berbagai kasus bahkan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengadilan. Terlepas dari permasalahan validitas, kita melihat bagaimana kacamata syariat melihat hal ini.
Membedakan Nasab biologis dan nasab syar’i
Dua hal ini berbeda, sebagai contoh kasus anak yang lahir dari hasil perzinahan. Maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada bapaknya secara syariat. Anak tersebut memang adalah anak biologis dari bapaknya (lahir dari benih sperma bapaknya), akan tetapi bukan anak bapak tersebut secara syariat. Berikut penjelasan yang lebih rinci:
Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka, tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya.”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir adalah bagi pemilik kasur (dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina tidak punya hak (pada anak hasil perzinaannya).”[2]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
فمعناه أنه إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشا له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولدا يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة سواء
“Jika seorang laki-laki memiliki istri atau seorang budak wanita, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi suaminya (anak yang dikandung dinasabkan kepada suaminya atau pemilik budak). Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya.[3]
Jadi, anak tersebut tetap dinasabkan (nasab syar’i) kepada pemilik kasur (suaminya yang sah) walaupun misalnya istrinya selingkuh dan anak tersebut lahir bukan dari benih suaminya, maka anak tersebut tetap anak suaminya secara syariat (walaupun nasab biologisnya bukan anak suaminya)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
حتى لو أن امرأة أتت بولد وزوجها غائب عنها منذ عشرين سنة لحقه ولدها
“walaupun hingga seorang istri melahirkan anak suaminya yang sedang pergi (tidak ada) selama 20 tahun, makan anak tersebut dinasabkan (nasab syariat) kepada suaminya.”[4]
Dan laki-laki yang berzina tidak berhak atas anak zinanya tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
بمعنى أنه لو كانت المزني بها لا فراش لها، وادعى الزاني أن الولد ولده فهل يلحق به؟ الجمهور على أنه عام، وأنه لا حق للزاني في الولد الذي خلق من مائه
“Maknanya jika seorang berzina dengan bukan firasy-nya (bukan istri sah), kemudian ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya, apakah anak tersebut dinisbatkan kepadanya? Pendapat jumhur ulama bahwa lafadz (hadits) umum, tidak ada hak bagi pezina pada anak tersebut yang (walaupun) diciptakan dari maninya.”[5]
Dengan demikian, seluruh hukum nasab antara anak zina dengan bapaknya tidak berlaku, yaitu:
1. Bapak dan anak zinanya tidak saling mewarisi.
2. bapaknya tidak wajib memberi nafkah kepada anak zinanya.
3. Bapaknya bukan mahram bagi anak zinanya (jika dia wanita),
kecuali jika bapaknya menikah dengan ibu anak tersebut dan telah melakukan hubungan jimak suami-istri (keduanya bertaubat dari zina dan menikah sah) maka anak zina tersebut statusnya adalah rabibah (anak perempuan istri dari suami sebelumnya, yang menjadi asuhannya dan anak perempuan yang dibawa oleh istrinya adalah mahram baginya)
Sebagimana dalam ayat,
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
“ (diharamkan bagimu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu/pengasuhanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa’ :23)
4. Bapaknya tidak bisa menjadi wali, menikahkan anak zinanya itu dalam pernikahan.
Yang menikahkan adalah qhadi (hakim pemerintah, dalah hal ini adalah KUA), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah”[6]
Jangan sampai bapaknya menikahkan anak zinanya (perempuan), maka status pernikahan tidak sah, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut juga statusnya anak zina secara syariat.
Hasil tes DNA untuk menetapkan nasab biologis tidak untuk nasab syar’i
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai anak hasil zina kemudian bapaknya ditentukan dengan pemeriksaan DNA, beliau menjawab:
والحاصل أن الولد لأبيه وإن أظهرت التحاليل أنه ليس منه.
“kesimpulannya, anak tersebut dinasabkan (nasab syar’i) kepada bapaknya (pemilik kasur), walaupun hasil tes pemeriksaan (DNA) menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anaknya.”[7]
Kesimpulannya:
-Jika sepasang pemuda-pemudi berzina
Kemudian lahir anak zina, maka anak tersebut dinasabkan (secara syar’i) kepada Ibunya tidak kepada bapaknya. Dan tidak berlaku hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum bapak-anak sebagaimana telah dijelaskan.
-Jika suami tidak mengakui anak yang dikandung istrinya
Misalnya suami menuduh istrinya berzina. Maka hukum asalnya anak dalam kandungan istrinya itu adalah anaknya secara syariat, meskipun suaminya tidak mengakui anak tersebut anaknya, akan tetapi secara syariat anak dalam kandungan istrinya adalah anaknya secara syar’i (nasab syar’i), meskipun ia bukan bapak biologis dari anak tersebut. Meskipun dengan pemeriksaan tes DNA anak tersebut bukan anaknya.
Jika ia (suami) ingin tidak mengakui anak tersebut secara syar’i dan biologis, maka ia menuduh istrinya berzina dan wajib mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka sang suami akan dijatuhi hukuman hadd cambuk. Jika ingin tidak dicambuk, maka ia akan melakukan li’an (saling melaknat).
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan Nama Allah, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas Nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atas-nya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” [An-Nuur: 6-9]
Alhamdulillah, Semoga bermanfaat.
wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam
@pogung Lor-Jogja, 18 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth
[2] Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah
[3] Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37, Darul Ihya’ AT-Turast, Beirut, cet.II, 1392 H, syamilah
[4] Al-Mughni 6/420, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah
[5] Syarhul Mumti’ 12/17, Dar Ibnul Jauzi, cet. I, 1422 H, syamilah
[6] HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
[7] Al-Irsyad lii Thabibil Muslim pertanyaan no.19, syamilah
baru tahuuu..sayang g bisa dishare di social media. terima kasih, aku suka membacanya.
bisa mbak, tinggal di like fb atau tweet, disamping
ga ada option share fb nya..
ada, tinggal like, trus kasi komentar
sekalian mau tawarin insyallah bermanfaat ana jualan mukena bali grosir & retail kunjungi ya http://bajuexport.com/19-mukena-bali
Izin share yaa…coz Βª®Ŭ tahu ηіċђ hukum syari’at tentang ini..jazakallah khair. 🙂
silahkan
Hukum Islam utk sepasang pemuda-pemudi berzina & suami tidak mengakui anak yang dikandung istrinya itu adalah jika syariat Islam sudah digunakan oleh Penguasa & masyarakatnya, bagaimana dg kondisi sekarang Dok? apakah hukum2 tersebut bisa digantikan, dan bgm keadaan orang2 yang melakukan kesalahan tersebut, apakah secara syariat mereka tetap berdosa sampai dilakukan hukuman tsb,& jika tdk bisa dilakukan bgm? mohon penjelasannya..
terima kasih
memang secara syariat, anak itu tidak bsa dinasabkan dgn bapak (yng bezina) dan jika perempuan bkan mahramnya)
tetapi secara adab, laki-laki harus bertanggung jawab, bisa dgn menikahinya tetapi dgn catatan, anak perempuan tersebut bukan anak secara syari, dia tidak bisa menjadi wali nikahnya kelak
jika misalkan hasil perzinahan adalah anak perempuan, maka yang berhak menjadi wali adalah suami dari perempuan yang melakukan perselingkuhan/perzinahan tersebut ataukah hakim ataukah lelaki yang melakukan perzinaan??
sedangkan secara nasab , nasab sang anak sudah berantakan
Yg jadi wali adalah waliyul amri dalam hal ini adalah pemerintah
Kalo memang tes DNA diakui oleh Islam, berarti Islam mempercayai teori evolusi, karena jika di tes DNA manusia dan simpanse mempunyai kemiripan 97-98%. nah gimana pak
teori darwin aja gk terbukti hasilnya..
manusia hanya berevolusi ukuran tubuhnya saja dari tinggi kependek..
alquran tidak pernah menjelaskan teori manusia hasil evolusi monyet..
karena saya diciptaan allah yg lebih mulia dari hewan dan malaikat.
saya menolak disebut hasil evolusi hewan..
bah kan allah menyebut adam manusia pertama (bukan monyet pertama) oke
Jika seorang pria menikah dgn wanita yg sudah punya anak diluar nikah,dan anaknya sudah besar,apa hukumnya dan anak tersebut belum Punya akte lahir,lalu anaknya binti siapa saat pembuatan akte nanti..?? Lalu cara buatnya bagaimana..??
maaf, saya tidak tahu hal ini
Assalamu’alaykum dok
Dengan kondisi skrg dmana perzinahan sblm menikah sudah bnyk terjadi, setelah ketahuan hamil pada menikah. Yang sya tahu ketika wanita hamil pernikahannya g sah. Tetapi sya tanya k teman sya yg baru dari KUA, kalaupun ada yg hamil msh bisa menikah tapi kena denda. Lalu apakah pernikahan tersebut sah secara agama? Anak pertama memang tidak dinasabkan ke bapaknya, lalu bagaimana dengan anak kedua dst?
wa’alaikumussalam, anak kedua jika sudah menikah, maka sah sebagai anak
Peristiwa di sekitar sekarang kan banyak yang hamil dulu jalan berapa bulan baru menikah, bukankah menikah dlm keadaan hamil tidak sah menurut agama ya dok? Kalau tidak sah brarti anak kedua nantinya juga g masuk nasab kan dok? Maaf ya dok saya g begitu paham