AqidahBimbingan IslamFiqhManhajMuamalah

Jangan Sembarangan Membid’ahkan Dan Memvonis Ahli Bid’ah

“Kakek, itu bid’ah lho, nanti amalnya tidak di terima, bisa terancam kekafiran juga”

“pak, kegiatan hkayak gini bd’ah pak, nanti kalo begini terus saya lebih baik bergaul dengan kera dan hewan di hutan daripada bergaul dengan ahli bid’ah seperti dalam hadits”

 

Ada sebagian kecil kaum muslimin yang asal-asalan dan serampangan mebid’ahkan dan memvonis ahli bid’ah. Kalaupun benar bid’ah, caranya yang salah, tidak hikmah dalam berdakwah. Langsung serampangan dan keras, seharusnya melihat keadaan dan orang yang di dakwah. Bisa jadi karena kurangnya ilmu dan pemahaman tentang bid’ah atau terlalu semangat dan berlebihan dalam memvonis atau juga sudah menganggap dirinya lebih hebat dan bisa jadi juga timbul rasa hasad dengan dengan dakwah seseorang yang berkembang pesat sehingga berusaha menjatuhkannya dan memvonis bid’ah.

Yang kami sorot di sini adalah orang yang gampang memvonis bid’ah padahal bukan bid’ah, hal ini karena kurangnya ilmu pada mereka.

 

Beberapa (sangat sedikit) Sahabat saja bisa salah menilai bid’ah

Bukan maksudnya para Sahabt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang terjerumus dalam kesalahan membid’ahkan. Akan tetapi makusdnya yaitu beberapa  sahabat saja bisa salah menilai bahwa ini adalah bd’ah, karena ilmu belum sampai kepada mereka, padahal mereka adalah didikan langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana lagi kita? Tentu kita harus lebih hati-hati lagi membid’ahkan dna memvonis ahli bid’ah.

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafizahullah berkata,

فذاك صحابي جليل تربى في ظلال الوحي, و مع ذالك فاتته سنة نبوي, فأنكر فاعلها لعدم وقوعه عليها, فكيف بغيره ممن هو دونه بدرجات من أهل هذه العصور فيما قبله؟!

“Jika Sahabat yang mulia dibimbing dengan bimbingan wayu akan tetapi mereka bisa luput dari mengetahui sunnah. Maka ia ingkari pelakunya (karena disangka bid’ah) karena mereka tidak tahu (bahwa yang dilakukan ada tuntunannya dalam syariat). Maka bagaimana dengan yang lainnya? Yang derajat mereka di bawah sahabat, yaitu orang di zaman ini?”[1]

 Contohnya:

Diriwayatkan dari Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,

أنه سمع رجلا يقول في تلبيته : لبيك ذا المعارج ، فقال له : إن الله ذو المعارج, و لكن لم نكن نقول ذالك مع النبي صلى الله عليه و سلم

“Bahwasanya ia mendengar seseorang laki-laki bertalbiyah: ‘Labbaik dzal ma’arij’. Maka ia berkata kepada laki-laki itu, ‘sesungguhnya Allah dzul ma’arij , akan tetapi kami tidak pernah mengucapkannya bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]

Perhatikan sahabat Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu mengingkari perbuatan laki-laki tersebut dan menganggapnya bid’ah. Beliau mengingkari karena tidak tahu, padahal perbuatan tersebut pernah merupakan sunnah taqriri (yaitu ditetapkan/dibiarkan  oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berikut dalilnya.

Hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu yaitu ada lafadz talbiyah “labbaik Allahumma labbaik”, kemudia ia menambahkan,

و الناس يزيدون ذا المعارج و نحوه من الكلام و النبي صلى الله عليه و سلم يسمع فلا يقول لهم شيئا

“Dan manusia menambahkannya:  ‘dzal ma’arij’ dan senejisnya (yaitu nama-nama Allah yang husna) sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya, beliau tidak berkata apapun (untuk mengingkarinya).”[3]

Maka jelas ini adalah dalil bolehnya bertalbiyah dengan lafadz “labbaik dzal ma’arij” karena merupakan taqrir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu menilainya bid’ah karena tidak mengetahuinya.

Contoh lainnya:

Ketika sahabat Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu meninggal , maka para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar jenazahnya dilewatkan ke masjid agar mereka bisa menshalatkannya. Maka manusia saat itu tidak mau karena menganggap hal ini bid’ah yaitu menshalati jenazah di masjid.

فبلغهن أن الناس عابوا ذلك وقالوا ما كانت الجنائز يدخل بها المسجد فبلغ ذلك عائشة فقالت ما أسرع الناس إلى أن يعيبوا ما لا علم لهم به عابوا علينا أن يمر بجنازة في المسجد, و الله ما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم علي سهيل بن بيضاء و أخيه إلا في جوف المسجد

Maka sampai berita kepada mereka bahwa manusia enggan, mereka berkata bahwa tidak boleh jenazah masuk ke masjid. Maka berita  ini sampai kepada ‘Aisyah, maka ia berkata:

‘Betapa cepatnya manusia mencela apa yang mereka tidak punya ilmu padanya, mereka enggan melewatkan jenazah di masjid.Demi Allah, tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan Suhail bin Baidha’ dan saudaranya kecuali di dalam masjid.”[4]

Oleh karena itu hendaknya kita yang ilmu dan derajatnya di bawah para sahabat lebih berhati-hati dalam menilai bid’ah dan memvonis ahli bid’ah.

 

Contoh yang sekarang sering dianggap bid’ah padahal bukan

Berikut ini beberapa contoh yang disangka bid’ah total, tidak ada tawar-menawar. Padahal jika kita melihat pendapat ulama yang lain, hal itu tidak sampai derajat bid’ah.

1.Shalat tarawih 23 rakaat

Beberapa riwayat menunjukkan bahwa shalat tarawih tidak pernah lebih dari 11 rakaat.

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.[5]

Maka sebagian yang mendengar ada 23 rakaat menganggapnya bid’a. Apalagi prakteknya shalat 23 rakaat sering tidak khusyu’ dan tuma’ninah karena mengejar jumlah rakaat yang banyak.

Akan tetapi ada dalil lainnya yang menunjukkan bahwa shalat tarawih 23 rakaat.

Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid,

كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .

“Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat. Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[6]

Dan masih ada dalil-dalil yang lainnya. Oleh karena itu kita harus menghormati mereka yang shalat tawarih 23 rakaat.

 

2. Biji Tasbih

Beberapa orang keras dengan hal ini. Biji tasbih bid’ah total dan bahkan menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir yaitu pendeta budha. Mereka berkata, gunakanlah jari tangan karena akan bersaksi di hari kiamat.

Akan tetapi jika kita melihat beberapa pendapat ulama yang lain, mereka membolehkan menggunakn biji tasbih.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة وكرهها بعض العلماء.

“Dibolehkan menggunakan biji tasbih untuk menghitung bacaan-bacaan dzikir dan tasbih asal tanpa ada keyakinan bahwa biji tasbih itu mengandung keutamaan khusus. Namun menggunakan biji tasbih itu dimakruhkan oleh sebagian ulama.”[9]

Syaikh Bin baz rahimahullah berkata,

المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة

“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan  subhah tersebut dirumahnya,  agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini  lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya  ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”[10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به

“Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatk an pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut.”[11]

 

Demikianlah hendaknya kita tidak kaku dan keras dan hendaknya kita senstiasa menuntut ilmu agar menghilangkan sedikit demi sedikit kebodohan kita.

Semoga bermanfaat.

@Pogung Dalangan, Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 


[1] Ilmu ‘ushul bida’ hal. 51, Darul Ayat, Riyadh, cet. II, 1417 H

[2] HR. Ahmad 1/172, dan jalan yang lain pada ‘ilal Daruquthni 4/387

[3] HR. Abu Dawud, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad shahih

[4] HR. Muslim no. 973

[5]  HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738

[6]  Mushannaf Abdirrazzaq no. 7733, dishahihkan oleh AN-Nawawi

[7] Muttafaq ‘Alaihi dan lafazh hadits atas adalah lafazh Muslim

[8] Al-Fatawa al-kubra (2/245)

[9] Mulakkhas fiqhi 1/129

[10] Majmu’ fatawa wa maqalat, sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4465

[11] Majmu Fatawa 22/506

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button