Sejarah Haji: Kafir Qurays Tidak Mau Wukuf di Arafah, Tapi di Muzdalifah

[Rubrik: Faidah Ringkas]
Islam telah mengatur secara rinci tata cara pelaksanaan seluruh ibadah, termasuk shalat, puasa, zakat, hingga ibadah haji. Khusus ibadah haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam sebuah hadits panjang yang dikenal dengan hadits Jabir, karena diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits tersebut, beliau menggambarkan secara lengkap pelaksanaan haji Nabi dari awal hingga akhir manasik.
Jauh sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab jahiliyah khususnya dari kalangan kafir Quraisy telah terlebih dahulu melaksanakan ibadah haji. Hal ini karena syariat haji adalah warisan dari kakek moyang mereka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Meskipun syariat ini masih dilestarikan, sayangnya ibadah tersebut telah ternodai oleh berbagai praktik kesyirikan dan kebid’ahan. Mereka bertalbiyah dengan lafaz yang mengandung kesyirikan, bahkan di antara mereka melakukan thawaf dalam keadaan telanjang.
Salah satu bentuk kebid’ahan yang mereka lakukan adalah membedakan diri dari kabilah-kabilah lain. Jika mayoritas kabilah berwukuf di Padang ‘Arafah, maka orang-orang Quraisy justru berwukuf di Muzdalifah. Alasannya, karena Muzdalifah berada di kawasan tanah haram, sedangkan ‘Arafah termasuk tanah halal.
Orang-orang Quraisy dijuluki al-Hums (الْحُمْس), yang artinya “orang-orang yang fanatik dalam beragama”. Setan membisikkan kepada mereka:
إِنَّكُمْ إِنْ عَظَّمْتُمْ غَيْرَ حَرَمِكُمُ اسْتَخَفَّ النَّاسُ بِحَرَمِكُمْ
“Jika kalian mengagungkan selain tanah haram (maksudnya padang ‘Arafah yang merupakan tanah halal) maka orang-orang akan meremehkan tanah haram kalian.”
Maka mereka enggan keluar dari wilayah tanah haram menuju ‘Arafah untuk wukuf dan berkata:
نَحْنُ أَهْلُ اللَّهِ لَا نَخْرُجُ مِنَ الْحَرَمِ
“Kami adalah orang-orang khususnya Allah, dan kami tidak keluar dari tanah haram.” (Lihat Fathul Baari 3/516)
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun ia dari suku Quraisy namun ketika beliau berhaji -yaitu sebelum beliau diangkat menjadi seorang Rasul- fithrahnya membimbing beliau untuk wukuf di Padang ‘Arafah. Padahal tidak ada seorang pun yang membimbing beliau. Namun ini terjadi karena bimbingan Allah.
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam—meskipun berasal dari suku Quraisy—tetap berwukuf di Padang ‘Arafah sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Fitrah beliau membimbingnya untuk mengikuti manasik Nabi Ibrahim, meski tanpa ada yang mengarahkannya secara langsung. Namun ini terjadi karena bimbingan Allah.
Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan:
أَضْلَلْتُ بَعِيرًا لِي، فَذَهَبْتُ أَطْلُبُهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاقِفًا بِعَرَفَةَ، فَقُلْتُ: «هَذَا وَاللَّهِ مِنَ الحُمْسِ فَمَا شَأْنُهُ هَا هُنَا»
“Aku kehilangan untaku, lalu akupun mencarinya pada hari ‘Arafah. Ketika itu aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wukuf di Padang ‘Arafah (bersama kabilah-kabilah selain Quraisy-pen). Maka aku berkata: ‘Demi Allah dia (Muhammad) termasuk dari kalangan Hums (Quraisy), lantas kenapa ia wukufnya di ‘Arafah?’” (HR Bukhari no. 1664)
Hadits ini juga menjadi bukti bahwa Allah telah menjaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan sebelum kenabian. Beliau tidak pernah terlibat dalam praktik kesyirikan maupun kebid’ahan, termasuk dalam ibadah haji. Beliau melaksanakan haji sebagaimana manasik Nabi Ibrahim, termasuk wukuf di Padang ‘Arafah.
Setelah penaklukan Kota Makkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan seluruh praktik ibadah haji yang telah diselewengkan. Beliau menghapus semua tradisi jahiliyah yang berbau kesyirikan dan kebid’ahan, serta mengembalikan manasik kepada tuntunan Nabi Ibrahim. Sejak saat itu, seluruh kaum muslimin—baik dari Quraisy maupun bukan—berwukuf bersama di Padang ‘Arafah, tanpa perbedaan kasta atau status. Semuanya hadir sebagai hamba Allah yang setara di hadapan-Nya.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)