Faidah Ringkas

Berangkat Haji Tapi Sakit Berat? (Solusi Masalah Kesehatan Jamaah Haji Indonesia)

[Rubrik: Faidah Ringkas]

Pemerintah Arab Saudi sempat mempertimbangkan untuk memangkas kuota haji Indonesia hingga 50% pada tahun 2026, sebagai bentuk evaluasi atas penyelenggaraan haji tahun 2025 yang dinilai penuh dengan ketidakteraturan. Salah satu sorotan utama adalah persoalan kesehatan jamaah haji asal Indonesia.

Tercatat lebih dari 380 jamaah haji Indonesia wafat selama pelaksanaan ibadah haji 2025—sebuah angka yang tergolong sangat tinggi. Bahkan, pihak Arab Saudi sempat menyampaikan kritik keras, “Why do you bring people to death here?” Sebuah sindiran tajam seolah-olah Indonesia mengirim jamaah ke Tanah Suci hanya untuk meninggal dunia. Mirisnya, beberapa jamaah bahkan dilaporkan wafat saat masih dalam perjalanan di pesawat.

Meskipun rencana pemangkasan kuota tersebut akhirnya tidak jadi diberlakukan, sinyal peringatan itu jelas menunjukkan bahwa Arab Saudi tidak segan mengambil tindakan tegas jika tata kelola haji Indonesia tidak segera dibenahi, terutama dalam aspek kesehatan jamaah.

Berangkat haji adalah impian setiap muslim di seluruh dunia. Selain sebagai rukun Islam yang wajib, ibadah haji juga menyimpan keutamaan luar biasa bagi siapa saja yang menunaikannya dengan benar dan tulus, hingga meraih predikat haji mabrur. Namun perlu disadari bahwa ibadah ini tidak wajib bagi semua muslim, karena adanya syarat istitha’ah (kemampuan). Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan makna “mampu” dalam ayat tersebut:

السبيل أن يصح بدن العبد، ويكون له ثمن زاد وراحلة، من غير أن يجحف به .

“Mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa harus memberatkan.” (Tafsir Ibnu Jarir, 4:22)

Dari sini dapat dipahami bahwa kemampuan berhaji tidak hanya menyangkut finansial, tetapi juga mencakup kesehatan fisik dan mental. Syarat ini bukan semata-mata untuk kebaikan pribadi, tetapi juga demi menjaga kemaslahatan umum. Jamaah yang menderita sakit berat bukan hanya kesulitan menjalani ibadah dengan baik, tetapi juga berisiko menyulitkan petugas dan menimbulkan beban tambahan dalam penyelenggaraan.

Memang terdapat hadits tentang keutamaan meninggal di Tanah Suci Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا

“Barangsiapa yang mampu untuk wafat di Madinah, maka wafatlah disana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang wafat disana.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Namun yang dimaksud bukanlah usaha disengaja untuk mati di sana, seperti dengan membiarkan diri sakit atau membawa penyakit berat ke Tanah Suci saat beribadah haji. Syafa’at itu diperuntukkan bagi orang yang benar-benar mencintai Madinah dan berusaha tinggal di sana, lalu Allah menakdirkannya wafat. Imam At-Tibiy menjelaskan:

أمر بالموت بها وليس ذلك من استطاعته ، بل هو إلى الله تعالى ، لكنه أمر بلزومها والإقامة بها بحيث لا يفارقها

“Perintah untuk wafat di Madinah bukan berarti seseorang mengusahakan sendiri kematiannya, karena itu adalah takdir Allah. Yang diperintahkan adalah untuk menetap dan tidak keluar dari kota Madinah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 10/286)

Ibadah haji adalah ibadah fisik dan spiritual yang membutuhkan kesiapan lahir dan batin. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa besar yang memiliki jamaah terbanyak di dunia menyadari tanggung jawab besar ini. Jangan hanya mengejar kuantitas keberangkatan, tetapi juga pastikan kualitas kesiapan. 

Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.,PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button