Membahas Bid’ah Bukan Berarti Membid’ahkan & Memvonis Bid’ah
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Di antara perkara yang terlarang dalam agama kita adalah apa yang disebut dengan bid’ah, suatu perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini apa yang sebelumnya tidak diperintahkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan dalam berbagai hadits tentang buruknya perilaku bid’ah. Di antaranya beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dinilai shahih oleh Al Albani)
Tidak hanya satu dua hadits saja, melainkan begitu sering Nabi mewanti-wanti umatnya terhadap kebid’ahan karena ini berkaitan dengan diterima atau tidaknya suatu ibadah. Hal inilah yang mendasari para ulama pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sejak dahulu hingga sekarang begitu getol memperingatkan hal yang sama.
Sayangnya, seruan-seruan ini seringkali disalahpahami oleh masyarakat dan menuduh para Da’i yang suka membahas bid’ah sebagai Da’i yang suka membid’ah-bid’ahkan amalan orang lain, dan dianggap mudah memvonis neraka!?
Anggapan-anggapan seperti ini bukanlah konsekuensi yang benar. Jika seorang Da’i membicarakan suatu larangan beserta akibat buruknya, apakah itu laknat Allah, ancaman neraka, tidak mencium bau surga, bukan berarti sang Da’i sedang memvonis pelaku larangan tersebut pasti mendapatan akibat-akibat buruk tersebut. Sebab ia sedang berbicara dalam konteks umum (muthlaq) bukan berbicara mengenai person tertentu (mu’ayyan).
Perlu dibedakan antara memvonis secara umum dan memvonis secara personal. Ketika seorang Da’i menjelaskan suatu perbuatan tertentu adalah kesyirikan, bukan berarti dia sedang memvonis pelakunya musyrik. Juga ketika menjelaskan suatu perbuatan tertentu adalah bid’ah, bukan berarti sedang memvonis pelakunya ahli bid’ah.
Sama halnya misalnya dengan suatu perbuatan yang akibatnya masuk neraka, bukan berarti pelakunya pasti masuk neraka. Betul, bisa jadi masuk neraka dengan perbuatan tersebut jika terpenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalang (mawani’). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
ولو كان كل ذنب لعن فاعله يلعن المعين الذي فعله؛ للعن جمهور الناس، وهذا بمنزلة الوعيد المطلق لا يستلزم بثبوته في حق المعين إلا إذا وجدت شروطه وانتفت موانعه وهكذا اللعن
“Andai setiap dosa yang dilaknat pelakunya, kemudian dilaknat semua pelakunya secara mu’ayyan (spesifik), maka mayoritas manusia akan terkena laknat. Hal ini seperti dalil ancaman yang bersifat muthlaq (umum), tidak berarti jatuh ancaman tersebut pada setiap orang secara spesifik. Kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Begitu pula dengan laknat.” (Minhajus Sunnah, 4/573)
Sebagai contoh, Allah tegaskan bahwa pelaku kesyirikan tempatnya di neraka kekal di dalamnya. Tetapi bisa jadi ia tidak masuk neraka karena adanya penghalang semisal karena tidak paham perbuatan tersebut merupakan kesyirikan, karena tidak sengaja melakukannya. Demikian pula orang yang melakukan perbuatan bid’ah tidak otomatis divonis jadi mubtadi’ (ahli bid’ah) karena bisa jadi belum terpenuhi syarat-syarat jatuhnya vonis seperti tegaknya hujjah, hilangnya syubhat, dan seterusnya.
Contoh lainnya, apabila ada wanita yang tidak sempurna menutup aurat dan ketika disampaikan hadits kepadanya tentang ancaman “bahwa ia tidak mencium bau surga”, bukan artinya me-neraka-kan atau memvonis bahwa ia pasti tidak masuk surga dan masuk neraka.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)