Tanda Sukses Mendidik Anak: Mereka Nyaman Bercerita Kepada Orang Tua

[Rubrik: Faidah Ringkas]
Salah satu pertanyaan besar yang sering muncul dalam dunia parenting adalah:
Bagaimana kita tahu bahwa kita berhasil dalam mendidik anak?
Jawabannya bisa sangat sederhana: Ketika anak merasa aman dan nyaman untuk bercerita kepada orang tuanya, tentang apa pun.
Entah itu kisah senang atau sedih, prestasi atau kegagalan, hal memalukan atau bahkan aib, jika anak terbuka kepada orang tua, itu tanda bahwa ada ikatan emosional (bonding) yang kuat dan sehat di antara mereka. Tapi kedekatan seperti ini tidak hadir begitu saja, namun dibutuhkan proses yang panjang dan penuh kesabaran.
Kuncinya ada pada sikap kita. Ucapan yang lembut, perhatian tanpa menghakimi, dan waktu yang benar-benar kita berikan akan membuat anak merasa dihargai, didengar, dan dicintai. Saat anak mulai bercerita, berhentilah sejenak, tatap matanya, letakkan gadget, dan dengarkan dengan sungguh-sungguh. Ini akan memberikan pesan kepada anak bahwa dia penting di mata kita.
Bahkan jika yang diceritakan adalah kesalahan, jangan langsung merespon dengan kemarahan. Sebab ketika anak mau mengakui kesalahannya, itu artinya ia percaya pada kita, percaya bahwa kita akan merespon dengan bijak, bukan dengan amarah. Inilah yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak langsung memarahi orang yang datang dengan kesalahan. Sebaliknya, beliau mendengarkan terlebih dahulu dan dengan kelembutan akan membimbingnya.
Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”.
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, merekaberkata, “Diam kamu, diam!”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ”
“Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu TIDAK PERNAH lagi tertarik untuk berbuat zina.” (HR. Ahmad, shahih, Ash-Shahihah I/713 no. 370)
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merespon orang yang datang membawa kesalahan. Beliau mendengarkan tanpa menghakimi, lalu memberikan nasihat dengan penuh empati. Contoh terbaik bagaimana sebagai orang tua harus bisa menjadi pendengar terlebih dahulu sebelum menasihati.
Dalam banyak riwayat yang lain disebutkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang sangat dekat dengan anak-anak. Beliau sering menyapa anak-anak, terkadang memangku dan memboncengnya. Rasa nyaman inilah yang menumbuhkan keberanian anak-anak untuk terbuka dan jujur.
Keterbukaan anak bukan sekadar tanda kedekatan hari ini. Ia adalah modal kepercayaan yang akan mereka bawa hingga dewasa. Saat kelak mereka menghadapi tekanan, pergaulan, atau masalah hati, mereka pasti akan mencari tempat curhat.
Pertanyaannya: Apakah mereka akan datang ke orang tuanya atau ke orang lain yang belum tentu membawa kebaikan?
Maka mulai sekarang, jadilah orang tua yang tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga emosional. Karena sejatinya, anak tidak butuh orang tua yang sempurna, mereka hanya butuh orang tua yang hadir dan bisa dipercaya.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)