Disunnahkan Menikah di Bulan Syawwal
Setelah bulan suci Ramadhan ada bulan Syawwal, di mana masyarakat sudah mengenal sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal. Akan tetapi ada juga sunnah lainnya di bulan Syawwal yaitu anjuran menikah di bulan Syawwal. Bagi yang sudah dimudahkan oleh Allah, bisa melaksanakan sunnah ini.
Dalil sunnah menikah di bulan Syawwal
‘Aisyahradiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ))
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim)
Sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahi ‘Aisyah di bulan Syawwal adalah untuk menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Ini adalah keyakinan dan aqidah Arab Jahiliyah. Ini tidak benar, karena yang menentukan beruntung atau rugi hanya Allah Ta’ala.
Bulan Syawwal dianggap bulan sial menikah karena nggapan di bulan Syawwal unta betina yang mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha). Ini adalah tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat. Maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para walipun enggan menikahkan putri mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
وفي دخوله صلى الله عليه وسلم بعائشة رضي الله عنها في شوال ردّ لما يتوهمه بعض الناس من كراهية الدخول بين العيدين خشية المفارقة بين الزوجين , وهذا ليس بشيء
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawwal termasuk di antara ‘ied fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah 3/253)
Imam An-Nawawi rahimahullah juga menjelaskan,
فيه استحباب التزويج والتزوج والدخول في شوال , وقد نصَّ أصحابنا على استحبابه , واستدلوا بهذا الحديث وقصدت عائشة بهذا الكلام رد ما كانت الجاهلية عليه , وما يتخيله بعض العوام اليوم من كراهة التزوج والتزويج والدخول في شوال , وهذا باطل لا أصل له , وهو من آثار الجاهلية , كانوا يتطيرون بذلك لما في اسم شوال من الإشالة والرفع ….). شرح صحيح مسلم للنووي ( 9/209) ا.هـ.
“Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang bertathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/mengangkat).” (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka).” (Syarh Shahih Muslim 9/209)
Larangan “merasa sial” (thiyarah)
Anggapan “merasa sial” atau “Thiyarah” adalah keyakinan yang kurang baik bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga praktek masyarakat kita yang kurang tepat yaitu yakin adanya hari sial, bulan sial bahkan keadaan-keadaan yang dianggap sial. Misalnya kejatuhan cicak, suara burung hantu malam hari dan lain-lainnya.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena untung dan rugi adalah Takdir Allah dengan hikmah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu itu termasuk kesyirikan. Beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).
Beliau juga bersabda,
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
“Tidak ada (sesuatu) yang menular (dengan sendirinya) dan tidak ada “Thiyarah”/ sesuatu yang sial (yaitu secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa’lu ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian semoga bermanfaat
@gedung Radiopoetro, FK UGM, Yogyakarta tercinta
penyusun: Raehanul Bahraen
artikel www.muslimafiyah.com
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ustadz saya ingin bertanya apakah hukum mendownload webpage untuk dibaca offline secara pribadi untuk mengambil ilmu islam? Semoga ustadz sekeluarga diberi balasan kebaikan oleh Allah.
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saya kira itu boleh saja, karena termasuk dalam fasilitas dari browser-browser yang biasa digunakan oleh banyak orang.