Apakah Boleh Tidak Shalat Jumat, Apabila Sudah Shalat ‘Ied?
Kita jumpai terkadang hari ‘ied jatuh pada hari jumat, baik itu idul fitri ataupun idul adha. Itu artinya dua hari raya berkumpul dalam satu hari, karena hari jumat adalah hari raya pekanan bagi kaum muslimin.
Bagi kaum muslimin yang telah mengikuti shalat ‘ied, syariat memberikan rukhshah (keringanan) boleh tidak menghadiri shalat jumat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama.” (HR. Abu Daud no. 1073)
Keringanan ini boleh diambil dan boleh tidak, hendaknya masing-masing kaum muslimin menghormati pendapat masing-masing. Sebagai gantinya, orang yang tidak menghadiri shalat jumat, wajib menggantinya dengan shalat dhuhur.
Adapun bagi imam hendaknya tetap hadir melaksanakan shalat jumat, agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat jumat bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya masalah yang sama, lalu beliau menjawab,
“Imam dan khatib jumat tetap wajib menunaikan shalat jumat di masjid bersama kaum muslimin yang ingin hadir, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkadang beliau membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah pada kedua shalat ‘ied dan shalat jumat yang beliau lakukan pada hari yang sama tersebut, sebagaimana dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi, siapa yang menghadiri shalat ‘ied maka boleh baginya meninggalkan shalat jumat lantas menggantinya dengan shalat dhuhur sendiri di rumahnya atau berjamaah bersama orang lain yang sama-sama telah menunaikan shalat ‘ied. Namun jika dia tetap hadir shalat jumat, tentu itu lebih afdhal dan lebih sempurna.”
Link referensi:
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)