Pengobatan Berdasarkan Testimoni

Kami memiliki prinsip bahwa semua metode pengobatan dan apapun jenisnya itu sama baiknya, asalkan dilakukan oleh ahlinya yang ahli dan berpengalaman. Ahli dalam hal ini adalah perlu belajar dalam waktu yang cukup lama (mohon maaf, bukan hanya mengikuti sekali-dua kali pelatihan kemudian langsung buka praktik dan berani mendiagnosis berbagai macam penyakit), serta telah berpengalaman dalam mengobati (tidak menjadikan pasien sebagai uji coba tanpa pengawasan).
Silakan baca tulisan kami:
“Dokter, Ahli Herbal, Ahli Thibbun Nabawi, Sama Baiknya, Asalkan Dilakukan oleh Ahlinya & Berpengalaman”^1
Kali ini kami menyoroti tentang testimoni dalam pengobatan. Perlu diketahui bahwa testimoni dalam pengobatan tidak bisa dipastikan valid, karena:
1. Bersifat subjektif
Misalnya: pasien bisa jadi menilai sudah merasa enak, padahal belum tentu itu sembuh. Gejala mereda berbeda dengan sembuh. Misalnya, obat/ramuan yang diberikan adalah antinyeri kuat. Pasien merasakan sakit hilang, tetapi belum sembuh, sehingga ketika pengaruh obat hilang, ia kembali merasakan sakit.
Atau ada benjolan pada pasien, tiba-tiba hilang atau mengecil saat diterapi. Tetapi ternyata sebenarnya benjolan tersebut pecah dan akan tumbuh kembali, atau benjolan tersebut berisi cairan yang berkurang karena pencetan/pijatan, kemudian cairan tersebut kembali terisi dan membesar.
2. Fenomena gunung es
Pengobatan berdasarkan testimoni bisa jadi hanya memunculkan keberhasilan saja, sedangkan yang gagal atau merugikan pasien tidak ditampilkan.
Kami menggunakan kata-kata bisa jadi, karena ada kemungkinan pengobatan berdasarkan testimoni memang berhasil dan baik juga. Sebagaimana pengobatan di zaman dahulu adalah hasil testimoni dari mulut ke mulut.
KUNCI ADALAH: Pengobatan yang berhasil dan benar-benar metode yang baik akan bertahan dan terus dipakai, sedangkan yang tidak valid akan hilang dengan sendirinya dari peredaran dan hanya heboh beberapa waktu saja.
Masih teringat sejak dahulu kita dihebohkan dengan pengobatan A, terapi B, dan metode C. Saat itu ramai-ramai memberikan testimoni yang luar biasa. Akan tetapi, lama-kelamaan hilang dari pembicaraan dan hilang juga metodenya. Demikian juga metode diet A atau metode diet artis fulan, sempat heboh dan semua memberikan testimoni keberhasilan, tetapi lama-kelamaan metode tersebut hilang dan tidak ramai dibicarakan lagi.
Jadi, apabila ada metode pengobatan sedang heboh, hendaknya kita berharap itu baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Jika ada kekurangan atau kritik, hendaknya disampaikan dengan nasehat yang hikmah, bijak, dan tentu empat mata. Jika nasehat tidak diterima, maka kita sudah melepas tanggung jawab dan tidak perlu memaksa. Setelah memberi nasehat, kita tunggu saja. Jika valid, ia akan bertahan. Jika tidak, akan hilang dengan sendirinya.
Demikian, semoga bermanfaat.
@Bandara Hasanuddin, Makassar, Kota Angin Mamiri
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK
Artikel: www.muslimafiyah.com
Harap membaca juga tulisan kami berikut:
Pelajaran dari “Buah Merah Penyembuh AIDS”
Sempat heboh pemberitaannya di Indonesia bahwa “buah merah bisa menjadi obat AIDS”. Sumbernya ternyata adalah testimoni seseorang penderita AIDS yang diberitakan sembuh dengan buah merah. Ia bahkan dibawa ke Jakarta untuk memberikan testimoni dan menjadi berita yang cukup menghebohkan dunia medis^2.
Namun, dalam selang beberapa lama (ada yang bilang 3 bulan, ada yang bilang 1 tahun), yang memberikan testimoni tersebut meninggal karena komplikasi AIDS^3.
Poin yang perlu dikaji:
1. Sekadar testimoni saja belum bisa membuktikan bahwa obat atau metode pengobatan tersebut bagus, karena testimoni dipengaruhi banyak faktor, dan keadaan setiap orang berbeda-beda. Belum lagi jika testimoni tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Jika mendapat info “buah merah sebagai obat AIDS”, tentu kita bertanya-tanya:
• Bagaimana cara minumnya?
• Diapakan buah merahnya (cara meracik jadi obat)?
• Berapa banyak yang diminum agar menjadi obat?
• Bisakah diberikan kepada bayi dan anak-anak? Apakah dosisnya sama?
• Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Demikian pula dengan thibbun nabawi, dalam Al-Qur’an dan hadits masih terlalu umum, bahkan hanya disebutkan bahannya saja.
Misalnya tentang madu sebagai obat bagi manusia, Allah Ta’ala berfirman:
يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah Ta’ala) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 69)
Atau tentang habbatus sauda dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّامِ
“Sesungguhnya pada habbatus sauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian.” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun, seperti “buah merah”, madu dan habbatus sauda masih sangat umum. Karena itu, ulama menjelaskan bahwa pengobatan memerlukan dosis dan indikasi.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:
فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan, dan daya tahan fisik… karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit. Jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total, dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya lain.” (Fathul Baari 10/169–170)
Sama juga dengan herbal. Jika kita dapat info:
• Buah mengkudu bisa mengobati penyakit ini
• Buah ini bisa mengobati penyakit itu
Maka pertanyaannya akan sama juga.
Penting juga kemampuan mendiagnosa.
Seandainya sudah dijelaskan dosis dan indikasi buah merah sebagai obat AIDS, maka pertanyaan berikutnya adalah:
“Bagaimana saya tahu bahwa pasien adalah penderita AIDS sehingga saya bisa mengobatinya?”
Jawabannya: tentu dengan mempelajarinya. Ini butuh waktu yang tidak sebentar, tidak cukup teori saja tetapi juga perlu melihat dan memeriksa pasien serta mengikuti perkembangan penyakitnya. Bisa dikatakan ini butuh waktu bertahun-tahun agar mahir.
Tidak bisa juga kita mendiagnosis terlalu umum, misalnya setelah memeriksa telapak tangan kemudian berkata: “Penyakitnya di lambung, Pak.” Tentu kita bertanya-tanya: sakit lambung seperti apa? Maag? Tukak? Infeksi bakteri? Karena penanganannya berbeda-beda.
Mari para tenaga kesehatan Muslim, kita kembangkan thibbun nabawi. Masyarakat Indonesia, mari kita kembangkan herbal asli Indonesia.
Kami tutup dengan pesan dari Imam Syafi’i rahimahullah:
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (ilmu kedokteran) dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” (Siyar A’lam An-Nubala 8/258)
Catatan:
Semua metode pengobatan sama baiknya—ahli herbal, praktisi thibbun nabawi, dan kedokteran modern—asalkan dilakukan oleh ahlinya yang berilmu, berkompeten, dan berpengalaman. Sebagai orang Indonesia, kita (khususnya tenaga kesehatan) harus mengembangkan dan memajukan herbal, resep asli Indonesia yang sudah turun-temurun. Dan sebagai seorang Muslim, tentu kita harus bertekad agar thibbun nabawi berjaya dan dikenal oleh dunia internasional. Kita berdoa semoga herbal Indonesia dan thibbun nabawi bisa berkelas internasional dan menjadi pengobatan rujukan penduduk bumi.
Namun, pengobatan harus sesuai dengan prinsipnya, yaitu mampu mendiagnosis penyakit dengan tepat, dan ini memerlukan waktu belajar yang lama. Tidak kalah penting adalah mengetahui dosis dan indikasi obat tersebut. Ini adalah salah satu tugas kita dalam memajukan herbal dan thibbun nabawi, karena beberapa pengobatan herbal dan thibbun nabawi masih terlalu umum. Diperlukan penelitian dan ilmu thabib zaman dahulu, serta penjelasan dari para ulama.
Jangan sampai praktik herbal dan thibbun nabawi tidak sesuai dengan prinsip pengobatan dan malah menjadi bumerang. (Alhamdulillah, yang seperti ini mungkin hanya sedikit.)
Artikel ini telah dimuraja’ah dan di-review oleh:
1. Ustadz Yulian Purnama, S.Kom
(Kontributor Muslim.or.id)
2. dr. M. Saifuddin Hakim, M.Sc, PhD
S2 (MSc) Erasmus Medical Center (EMC) Rotterdam dalam bidang Infeksi dan Imunologi (2011-2013). S3 (PhD) di EMC-Postgraduate School bidang Virologi Molekuler (Nov 2014 – 2018)