Faidah Ringkas

Saat Rumah Tangga Diuji, Saling Memaafkan & Ingat Kebaikannya adalah Kuncinya

[Rubrik: Faidah Ringkas]

Sebagian orang membayangkan bahwa rumah tangga yang baik adalah rumah tangga tanpa masalah, tanpa cekcok, tanpa selisih paham. Padahal kenyataannya, bahkan rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak luput dari dinamika, termasuk perselisihan dan ketegangan. Itu bukan tanda kegagalan, melainkan bagian alami dari hidup Bersama.

Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tiba-tiba salah satu istri beliau mengirim mangkuk berisi makanan. Karena diliputi rasa cemburu, ‘Aisyah memukul tangan pelayan itu hingga mangkuk makanan itu terjatuh dan pecah, padahal ada beberapa sahabat yang menyaksikannya. Namun Rasulullah tidak membalas dengan amarah. Beliau hanya tersenyum dan berkata,

غَارَتْ أُمُّكُمْ

“Ibu kalian (yaitu ‘Aisyah) sedang cemburu.” (HR. Bukhari no. 5225)

Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyendiri selama sebulan mendiamkan istri-istrinya karena menuntut nafkah yang melebihi kemampuan beliau. Setelah mereka menyadari kesalahannya dan meminta maaf, Rasulullah pun memaafkan dan rumah tangga kembali harmonis seperti sedia kala.

Jika rumah tangga kita mengalami hal serupa, itu bukan aib. Justru itulah ujian kehidupan yang harus dihadapi dengan kedewasaan dan keimanan. Rumah tangga yang kokoh bukan yang tanpa konflik, tetapi yang mampu mengatasi konflik dengan kasih sayang dan kebesaran hati.

Para ulama menyebut bahwa pertengkaran rumah tangga adalah “bumbu” kehidupan. Namun yang perlu dijaga adalah jangan sampai ngambek atau saling mendiamkan terlalu lama. Siapa pun yang lebih dulu sadar, hendaknya segera mengambil langkah untuk memperbaiki. Karena semakin lama diam dan menjauh, maka semakin besar peluang setan untuk masuk dan membisikkan hal-hal buruk, termasuk membuka kembali luka lama dan kesalahan masa lalu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ

“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560)

Jika kepada sesama Muslim saja tidak boleh mendiamkan lebih dari tiga hari, apalagi terhadap pasangan hidup kita sendiri?

Maka, kuncinya adalah siapa pun yang lebih dulu sadar—entah suami atau istri—hendaknya mengalah dan mengulurkan tangan, membuka hati untuk saling memaafkan dan memperbaiki komunikasi. Karena di fase saling diam itulah, setan berperan besar menyulut api perpecahan. Masa lalu yang semula telah dimaafkan bisa muncul kembali, dan luka yang dulu telah sembuh bisa berdarah kembali.

Rumah tangga yang kokoh bukan rumah tangga yang tanpa masalah, melainkan rumah tangga yang tahu bagaimana mengatasi masalah dengan kasih sayang dan saling memaafkan.

Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button