Faidah Ringkas

Hutang Boleh Ketika Darurat, Tapi Beri Kabar & Jangan Menghilang!

[Rubrik: Faidah Ringkas]

Terkadang kita menghadapi kebutuhan mendesak, sementara uang yang kita miliki tidak cukup untuk memenuhinya. Sudah berusaha mencari solusi ke sana-sini, tapi tetap buntu. Akhirnya, berhutang menjadi jalan terakhir.

Dalam Islam, berhutang hukumnya boleh, selama memang karena kebutuhan mendesak. Namun Islam tidak membiarkan perkara hutang ini begitu saja. Ada syarat dan adab yang harus dipenuhi agar hak kedua belah pihak tetap terjaga. Sebab, hutang bukan perkara ringan—ia bisa menjadi musibah di dunia dan akhirat.

Salah satu malapetaka hutang yang paling mengerikan adalah ketika seseorang wafat dengan hutang yang belum lunas. Di akhirat kelak, pembayarannya bukan lagi dengan uang, melainkan dengan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasinya. Yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, dinilai shahih oleh Al Albani)

Namun, jika seseorang berhutang dengan niat yang baik dan sungguh-sungguh ingin melunasinya, maka Allah akan memudahkannya. Sebaliknya, jika niatnya buruk, hanya ingin memanfaatkan atau menghabiskan harta orang lain, maka Allah akan membinasakannya—baik secara fisik maupun batin. Allah akan lelahkan badannya dalam mencari dan letihkan jiwanya memikirkan hutang tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan menunaikannya untuknya. Namun siapa yang mengambilnya dengan niat untuk merusaknya, maka Allah akan membinasakannya.” (HR Bukhari, no. 2387)

Namun realita tidak selalu ideal. Ada kalanya seseorang mengalami kesulitan membayar hutangnya padahal waktu jatuh tempo telah tiba. Dalam kondisi seperti ini, hal paling penting yang harus dilakukan adalah berkomunikasi dengan pemberi pinjaman, meminta maaf, dan memohon penangguhan. Bukan malah menghilang, memutus kontak, atau membuat pihak pemberi merasa dikhianati. Hutang yang awalnya tumbuh dari kepercayaan dan kasih sayang, bisa berubah menjadi sumber permusuhan dan perpecahan.

Di sisi lain, agama Islam pun memotivasi pihak pemberi hutang untuk memberikan keringanan kepada yang berhutang. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Memberi tenggang waktu kepada yang kesulitan membayar adalah wajib. Bahkan, memaafkan hutang (jika mampu) adalah amal yang sangat dianjurkan dan berpahala besar. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang melimpah.

Sebagai nasihat bersama, berpikir matanglah sebelum berhutang. Jika memang harus, niatkan untuk melunasinya dan jangan lari dari tanggung jawab. Jika belum bisa melunasi, komunikasikan. Jangan tiba-tiba menghilang, sementara di media sosial justru muncul dengan foto-foto pamer liburan kesana-kemari dan belanja barang-barang mewah.

Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button