Faidah Ringkas

Sejarah Haji: Dulu Ada Yang Tawaf dengan Telanjang

[Rubrik: Faidah Ringkas]

Ibadah haji merupakan ibadah yang agung dalam agama Islam. Seluruh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia mendambakan kesempatan untuk menunaikannya. Banyak yang rela menabung selama bertahun-tahun dan bersabar dalam antrean demi bisa berhaji ke Baitullah.

Ternyata ibadah haji bukan pertama kali dilakukan oleh kaum Muslimin. Orang-orang Arab jahiliyah sebelumnya juga telah melaksanakannya, bedanya mereka melakukannya dengan berbagai jenis bid’ah di dalamnya. Di antaranya, orang-orang musyrik Quraisy kalau wukuf di Muzdalifah (wilayah tanah haram), karena menganggap diri sebagai ahli ibadah dan tidak pantas keluar ke Arafah (wilayah tanah halal). Sementara itu, kaum musyrik non-Quraisy justru melakukan wukuf di Arafah.

Salah satu bentuk bid’ah yang paling menyesatkan pada masa itu adalah tawaf dalam keadaan telanjang. Mereka mengklaim bahwa hal tersebut merupakan perintah Allah. Tawaf telanjang ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Umumnya, laki-laki melakukannya di siang hari, sedangkan perempuan memilih malam hari agar aurat mereka sedikit lebih tersamarkan meskipun tetap tidak tertutup secara sempurna.

Alasan mereka melakukan tawaf telanjang adalah karena menganggap pakaian yang mereka kenakan telah ternodai oleh maksiat, sehingga tidak pantas digunakan untuk bertawaf di hadapan Allah. Maka mereka akan meminjam pakaian dari orang-orang Quraisy. Jika tidak mendapatkannya, mereka akan membeli pakaian baru. Namun jika tidak mampu, mereka memilih bertawaf dalam keadaan telanjang.

Alasan kedua, mereka berdalil bahwa tawaf seharusnya dilakukan sebagaimana keadaan saat dilahirkan ibunya. Mujahid rahimahullah menjelaskan:

قال: كانوا يطوفون بالبيت عراة, يقولون: ” نطوف كما ولدتنا أمهاتنا “, فتضع المرأة على قُبُلها النِّسعة أو الشيء

“Dahulu orang Arab jahiliyah thawaf di Baitullah sambil telanjang. Mereka berkata: ‘Kami thawaf dalam keadaan seperti ketika dilahirkan oleh ibu kami’. Kaum wanitanya menutup kemaluannya dengan tali atau benda lain.” (Tafsir Ath Thabari, no. 14462).

Alasan ketiga, kaum Quraisy sebagai tuan rumah kegiatan ibadah haji menciptakan aturan bid’ah ini lagi-lagi demi kepentingan bisnisnya. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh tawaf kecuali dengan pakaian yang berasal dari tanah haram, bukan dari luar tanah haram. Maksudnya, siapa pun yang ingin tawaf harus membeli pakaian di Makkah. Ujung-ujungnya adalah duit. Jika pendatang tidak memiliki cukup bekal atau uang setelah menempuh perjalanan Panjang, mereka terpaksa bertawaf dalam keadaan telanjang.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan (mengomentari perkataan Mujahid di atas):

كَانَتِ الْعَرَبُ -مَا عَدَا قُرَيْشًا -لَا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ فِي ثِيَابِهِمُ الَّتِي لَبِسُوهَا، يَتَأَوَّلُونَ فِي ذَلِكَ أَنَّهُمْ لَا يَطُوفُونَ فِي ثِيَابٍ عَصَوُا اللَّهَ فِيهَا، وَكَانَتْ قُرَيْشٌ -وَهُمُ الحُمْس -يَطُوفُونَ فِي ثِيَابِهِمْ، وَمَنْ أَعَارَهُ أَحْمَسِيٌّ ثَوْبًا طَافَ فِيهِ، وَمِنْ مَعَهُ ثَوْبٌ جَدِيدٌ طَافٍ فِيهِ ثُمَّ يُلْقِيهِ فَلَا يَتَمَلَّكُهُ أَحَدٌ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ ثَوْبًا جَدِيدًا وَلَا أَعَارَهُ أَحْمَسِيٌّ ثَوْبًا، طَافَ عُرْيَانًا…وَأَكْثَرُ مَا كَانَ النِّسَاءُ يَطُفْنَ عُرَاةً بِاللَّيْلِ، وَكَانَ هَذَا شَيْئًا قَدِ ابْتَدَعُوهُ مِنْ تِلْقَاءِ أَنْفُسِهِمْ، وَاتَّبَعُوا فِيهِ آبَاءَهُمْ وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّ فِعْلَ آبَائِهِمْ مُسْتَنِدٌ إِلَى أَمْرٍ مِنَ اللَّهِ وَشَرْعٍ، فَأَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ ذَلِكَ

“Dahulu orang-orang Arab -selain Qurasiy- tidaklah tawaf di Ka’bah menggunakan pakaian yang biasa mereka pakai. Mereka melakukan demikian dengan dalih bahwa mereka tidak mau tawaf menggunakan pakaian yang biasa dipakai bermaksiat kepada Allah. Adapun kaum Quraisy -yaitu al-Hums (orang-orang yang semangat beribadah)- mereka tawaf dengan pakaian mereka. Selain orang Quraisy jika diberi baju pinjaman oleh orang Qurasiy maka ia pun tawaf dengan pakaian tersebut. Siapa yang punya baju baru juga tawaf dengan baju tersebut, lalu setelah itu dibuang, sehingga tidak seorang pun yang memilikinya. Siapa yang tidak punya baju baru, dan tidak mendapat pinjaman dari orang Quraisy, maka ia pun tawaf telanjang … dan kebanyakan wanita tawaf telanjang di malam hari. Ini semua adalah perkara yang mereka ada-adakan (bid’ah), dan mereka hanya mengikuti nenek moyang mereka. Mereka juga meyakini bahwa perbuatan nenek moyang mereka ini bersandar kepada perintah atau syariat Allah. Maka Allah pun mengingkari mereka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, vol. III, hlm. 402, Fathul-Bari, vol. III, hlm. 483, dan Sirah Ibn Hisyam, vol. I, hlm. 202)

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan dan menguasai kota Makkah, seluruh tradisi jahiliyah ini dihapus. Beliau mengutus Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk memimpin haji dan mengumumkan di tengah manusia di Baitullah:

أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

“Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh ada orang yang thawaf dalam keadaan telanjang.” (HR Bukhari no. 369, Muslim no. 1347).

Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button