Idul Fitri Artinya Bukan “Kembali Suci”, Lalu Apa?
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Setiap kali momen Idul Fitri tiba, seringkali kita mendengar ungkapan orang-orang yang memaknai Idul Fitri dengan “kembali suci” dengan maksud bahwa saat Idul Fitri masyarakat yang menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan telah kembali suci, bersih dari semua dosa-dosanya.
Pemahaman ini adalah pemahaman yang keliru dan perlu diluruskan karena tersebar banyak di tengah masyarakat. Kekeliruan tersebut berangkat dari kesalahpahaman terhadap makna “Al-Fithri” yang dianggap berasal dari kata Fitrah. Padahal Fitri dan Fitrah adalah dua kata yang berbeda. Mungkin kemiripan inilah yang membuat banyak masyarakat indonesia salah kaprah.
Idul Fitri berasal dari dua kata: ‘id (arab: عيد) dan al-fitri (arab: الفطر). ‘Id secara bahasa berasal dari kata ‘aada-ya’uudu (arab: عاد – يعود) yang artinya kembali. Sedangkan Fitri berasal dari kata afthara-yufthiru (arab: أفطر – يفطر) yang artinya berbuka. Sehingga Idul Fitri artinya kembali berbuka setelah selama sebulan kita berpuasa.
Di antara dalil yang menunjukkan kepada makna tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR. Tirmidzi no. 697, Abu Daud no. 2324, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
Makna hadits akan aneh jika Al-Fithr diartikan dengan suci. “Hari bersuci adalah hari di mana kalian semua bersuci”?!
Selain itu, kesalahpahaman ini juga menyeret kepada keyakinan bahwa orang yang menjalankan puasa Ramadhan semua dosanya akan diampuni dan kembali suci. Tentu ini keyakinan yang sangat keliru.
Betul bahwa amalan-amalan ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan bisa menghapuskan dosa-dosa, tetapi itu hanya pada dosa kecil, dan bukan dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad no. 9197 dan Muslim no. 233)
Artinya amalan-amalan ibadah tersebut bisa menggugurkan dosa dalam hal ini dosa kecil, selama dosa-dosa besar dijauhi. Adanya syarat tersebut menunjukkan bahwa dosa besar tidak diampuni melalui amalan-amalan tersebut. Dosa syirik, membunuh, berzina, mencuri, dan dosa-dosa besar lainnya hanya akan diampuni oleh Allah dengan taubat dan memohon ampun kepada Allah secara khusus atas dosa tersebut.
Demikian pula dosa-dosa yang berkaitan dengan hak manusia hanya akan diampuni jika orang yang dizhaliminya memaafkannya.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)