Kapan Istri Boleh Meminta Cerai?
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Menjaga keutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, bukan suami yang paling bertanggung jawab bukan pula istri. Ketika keduanya telah berjanji dalam satu ikatan pernikahan, pada saat itu pula keduanya memiliki kewajiban menjaga ikatan tersebut dengan cara menjaga hak dan kewajiban masing-masing.
Akan tetapi tak ada rumah tangga yang selamat dari badai problematika kehidupan, bahkan dari dalam rumah itu sendiri. Jika keduanya tak bijak untuk menghadapinya, bukan tidak mungkin rumah tangga yang awalnya bahagia justru berujung pada perpisahan.
Perpisahan tidak hanya atas kemauan suami yang kemudian menceraikan istrinya, istri pun bisa menggugat cerai suaminya. Tetapi dalam Islam, menggugat cerai suami adalah hal yang sangat berat, tidak mudah, dan hukumnya haram jika tak disertai alasan yang kuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga.” (HR Abu Dawud, no. 2226, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan ancaman yang keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat. Dengan kata lain, jika memang ada sebab syar’i sehingga dia menuntut cerai maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab syar’i ini bisa muncul salah satunya jika maksud dan tujuan pernikahan itu tidak ada lagi dalam rumah tangga.
Setidaknya ada empat maksud hak pokok bagi seorang wanita dalam ikatan pernikahan yang dia jalin, sebagai berikut:
- Pertama, mendapatkan nafkah lahir, artinya kebutuhan sandang pangan papan dari sang istri dipenuhi oleh suaminya sesuai dengan kemampuannya. Jika suami tetap enggan menafkahinya setelah melalui berbagai macam nasihat dan mediasi, sang istri boleh menggugat cerai suaminya.
- Kedua, mendapatkan nafkah batin. Semisal suaminya impoten sehingga tak mampu memberikan nafkah batin kepada istrinya, maka sang istri boleh menggugat cerai suaminya setelah melalui berbagai upaya pengobatan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana rinciannya dalam kitab-kitab fiqih.
- Ketiga, mendapatkan keturunan. Jika ternyata suaminya mandul, maka sang istri tidak boleh menggugat cerai suaminya hingga berbagai usaha dan upaya pengobatan telah dilakukan namun juga tak kunjung berhasil. Ingat, hukumnya adalah boleh bukan wajib. Jika istri tetap memilih bertahan, semoga Allah berikan ia kebaikan-kebaikan yang lain.
- Keempat, mendapatkan perlindungan. Di antara hikmah dan tujuan pernikahan adalah agar tercipta suasana ketenangan, ketenteraman, dan perlindungan dari suami kepada istrinya. Allah berfirman,
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang.” (QS Ar-Ruum: 21)
Jika ketenangan dan kebahagiaan jauh dari rumah tangga tersebut, alih-alih mendapatkan perlindungan dari suami justru sikap kasar, teror, bahkan perilaku KDRT yang dia dapatkan, maka istri boleh menggugat cerai suaminya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
إن كانت مظلومة أو ظلمها وتعدى عليها فهي معذورة، أما إذا كانت تطلب الطلاق من غير بأس فلا يجوز لها ذلك
“Jika dia terzhalimi atau dianiaya maka dia memiliki alasan (untuk meminta cerai). Tetapi jika dia meminta cerai tanpa alasan mendesak, maka dia tidak boleh melakukan hal itu.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/9429/)
Inilah empat di antara hak pokok bagi wanita yang jika tidak dia dapatkan maka dia bisa mengajukan gugatan cerai (khulu’). Tentunya sebelum melangkah ke jenjang tersebut, keduanya harus menempuh berbagai upaya dan jalan melalui pengobatan, atau perdamaian, musyawarah, mediasi, hingga dirasa semua solusi itu tak bisa memberikan jalan keluar yang membuat kedua belah pihak ridha, maka perpisahan adalah jalan terakhir. Semoga Allah berikan keberkahan kepada setiap keluarga kaum muslimin.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)