Selain dari sisi akidah yang menyimpang, dalam pengamalan beberapa cabang fikih pun Rafidhah (baca: Syi’ah) menyalahi tuntunan. Semisal dalam masalah mengusap khuf ini. Para ulama Ahlus Sunnah memasukkan bahasan mengusap khuf dalam bahasan akidah untuk menangkal pemahaman Rafidhah yang keliru.
Sebelumnya ada baiknya lebih dahulu kita bahas apa yang dimaksud dengan khuf dan cara mengusap khuf.
Pengertian Khuf
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والخُفَّان: ما يُلبَسُ على الرِّجل من الجلود، ويُلْحَقُ بهما ما يُلبَسُ عليهما من الكِتَّان، والصُّوف، وشبه ذلك من كُلِّ ما يُلبَسُ على الرِّجْل مما تستفيدُ منه بالتسخين
“Khuf adalah sesuatu yang dipakai pada kaki dan terbuat dari kulit, juga ada yang terbuat dari rami dan wol. Begitu pula termasuk khuf adalah segala sesuatu yang dikenakan kaki untuk memberikan kehangatan.”[1]
Jadi khuf adalah sebagaimana yang kita pakai di zaman ini seperti sepatu, kaos kaki, sandal dan penutup kaki dan lainnya.
Mengusap Khuf
Jika seseorang hendak berwudhu dalam keadaan mengenakan khuf, maka ia tidak perlu membuka khuf-nya untuk mencuci kaki namun cukup sebagai gantinya mengusap di atas khuf-nya.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhohullah berkata,
فإن الشارع رخص للمتوضئ أن يمسح على هذه الحوائل , ويكتفي بذلك عن نزعها وغسل ما تحتها ; تخفيفا منه سبحانه وتعالى على عباده , ودفعا للحرج عنهم
“Syariat memberikan keringanan/rukshah kepada orang yang berwudhu untuk mengusap khuf pada berbagai keadaan. Khuf yang dikenakan tidak perlu dicopot dan cukup mengusap bagian atasnya saja. Mengusap khuf merupakan keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-Nya untuk menghilangkan kesusahan dari mereka.”[2]
Allah Ta’ala berfirman,
وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki.” (QS. Al Maidah 6)
Cara membaca/ qira’ah lafazh [وَأَرجُلَكُمْ] pada huruf [ل] bisa dengan dua cara baca yaitu di-kasrah/majrur atau di-fathah/manshub.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata,
أن قراءة النَّصب دلَّت على وجوب غسل الرِّجلين.وأما قراءة الجر؛ فمعناها: اجعلوا غسلكم إِيَّاها كالمسح
“Cara baca nashab/fathah menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki (saat tidak memakai khuf) sedangkan cara baca jarr/ kasrah maknanya jadikanlah membasuhnya sebagaimana mengusap (saat memakai khuf).”[3]
Syi’ah Mengingkari Syari’at Mengusap Khuf
Syaikh Abdullah bin Shalih Ali Bassam rahimahullah berkata,
شذت الشيعة في إنكار المسح على الخفين …فهم الذي خالفوا الإجماع, متمسكين بقراءة الجر من {و أرجلكم} لآن الأية ناسخة للأحاديث عندهم
“Syi’ah memiliki pendapat yang jelas keliru yaitu dalam hal pengingkaran mengusap khuf. Mereka jelas telah menyalahi ijma’ (kesepakatan para ulama) karena mereka berpegang kepada qira’ah jarr dari lafazh ‘wa arjulikum’, sehingga menurut pendapat mereka, lafazh ayat ini menghapus semua hadits yang menjelaskan mengusap sepatu.”[4]
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata,
وقد اشتهر جواز المسح على الخفين عند علماء الشريعة حتى عد شعارا لأهل السنة وعد إنكاره شعارا لأهل البدع
“Telah masyhur di kalangan para ulama mengenai kebolehan mengusap khuf, sampai-sampai perkara ini terhitung sebagai syi’ar Ahlus Sunnah dan pengingkaran terhadap hal ini teranggap sebagai syi’ar ahlul bid’ah.”[5]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والمسح على الخفين جائزٌ باتفاق أهل السُّنَّةِ.وخالفَ في ذلك الرَّافضةُ؛ ولهذا ذكره بعضُ العلماءِ في كتب العقيدةِ لمخالفةِ الرافضة فيه حتى صار شعاراً لهم.
“Mengusap khuf dibolehkan berdasarkan kesepakatan Ahlus sunnah. Syi’ah Rafidah menyelisihi hal ini. Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan hal ini dalam kitab aqidah untuk menyelisihi rafidhah. Sampai-sampai hal ini merupakan syi’ar mereka.”[6]
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,
وفيه الحكم الجليل الذي فرق بين أهل السنة وأهل البدع وهو المسح على الخفين لا ينكره إلا مخذول أو مبتدع خارج عن جماعة المسلمين أهل الفقه والأثر لا خلاف بينهم في ذلك بالحجاز والعراق والشام وسائر البلدان
“Dalam masalah hukum ada yang membedakan antara ahlus sunnah dan ahlul bidah, yaitu mengusap khuf. Tidaklah didapati pengingkaran dalam masalah ini kecuali dari orang yang bodoh dan dari kalangan ahlul bid’ah yang keluar dari jamaah kaum muslimin dari kalangan fuqaha dan ahli atsar. Tidak ada perselisihan di antara para ulama baik di negeri Hijaz, Iraq, Syam dan semua negeri.”[7]
Ijma’ Ulama Ahlus Sunnah dan Para Sahabat Mengenai Mengusap Khuf
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
لَيْسَ فِيْ قَلْبِيْ مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ, فِيْهِ أَرْبَعُوْنَ حَدِيْثًا عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم , مَا رَفَعُوْا إِلَى النَّبِيِّ وَمَا وَقَفُوْا
“Tidak ada dalam hatiku (keraguan) sedikitpun tentang mengusap (khuf). Ada empat puluh hadits dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membahas hal ini. Ada yang marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ada yang mauquf (sampai para sahabat).”[8]
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
حَدَّثَنِيْ سَبْعُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم, أَنَّهُ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
“Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf.”[9]
Cara Mengusap Khuf Ala Syi’ah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata,
والرَّافضة يخالفون الحقَّ فيما يتعلَّق بطهارة الرِّجل من وجوه ثلاثة: الأول: أنهم لا يغسلون الرِّجل، بل يمسحونها مسحاً. الثاني: أنهم ينتهون بالتطهير عند العظم الناتئ في ظهر القدم فقط. الثالث: أنهم لا يمسحون على الخُفين، ويرون أنه محرَّم، مع العلم أنَّ ممن روى المسحَ على الخُفين عليَّ بن أبي طالب رضي الله عنه وهو عندهم إمام الأئم
“Rafidhah (baca: Syi’ah) menyelisihi kebenaran yang berkaitan dengan cara bersuci pada kaki dalam tiga hal:
1. Mereka tidak mencuci kaki mereka ketika berwudhu, tetapi mereka mengusapnya.[10]
2. Mereka mengusap kaki mereka ketika wudhu tidak sampai ke kedua mata kaki tetapi hanya sampai ke punggung kaki.
3. Mereka tidak mengusap kedua khuf, mereka memandang bahwa hal itu adalah haram, padahal mereka tahu bahwa salah seorang dari para sahabat yang meriwayatkan masalah mengusap khuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Padahal ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menurut mereka adalah imamnya para imam.”[11]
Dalil Syi’ah Rafidhah sebagaimana dijelaskan,
متمسكين بقراءة الجر من {و أرجلكم} لآن الأية ناسخة للأحاديث عندهم
“Mereka berpegang kepada qira’ah jarr dari lafaz ‘wa arjulikum’, sehingga menurut pendapat mereka, lafazh ayat ini menghapus semua hadits yang menjelaskan mengusap sepatu.”[12]
Maka bantahannya bahwa memang bisa dibaca jarr. Akan tetapi hal ini berlaku pada keadaan mengusap khuf bukan saat mencuci kaki. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin sebelumnya.
Jika sekedar mengusap punggung kaki (saat tidak mengenakan khuf, ed), maka tumit tidak terkena air dan hal ini dicela oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amr berkata,
تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ فِيْ سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :” وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ”
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami) beliau mendapati kami (dan ketika itu) telah datang waktu sholat yaitu shalat asar- kami sedang berwudhu, maka kami mengusap kaki-kaki kami. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras “Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu) dengan ancaman neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan sekedar mengusap punggung kaki bertentangan dengan sunnah menyela-nyela jari ketika berwudhu. Dari Laqith bin Sabrah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Sempurnahkanlah wudhu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung, ed) kecuali jika engkau sedang berpuasa” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi).
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
4 Jumadal Ula 1433 H, bertepatan dengan 27 Maret 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Editor: M. Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
dipublikasi ulang oleh www.muslimafiyah.com
Footnote:
[1] Syarhul Mumti’ 1/113, Maktabah Jundul Afkar, cet. I, Koiro
[2] Mulakkhas Fiqhiyah 1/32, Darul Aqidah, Iskandariyah, cet. I, 1430 H
[3] Syarhul Mumti’ 1/109
[4] Taisirul Allam 1/45, Daru Aqidah, Koiro, cet. I, 1422 H
[5] Ihkamul Ahkam 1/113, Mathba’ah As-sunnah Al-Muhammadiyah, Syamilah
[6] Syarhul Mumti’ 1/113]
[7] At-Tamhid lima fil muwattha’ 11/134, Wizarah Umum Al-Auqaf, Maroko, 1387 H, Syamilah
[8] Al-Mugni 1/361, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, Syamilah
[9] Al-Ausath 1/433, Dar Thaiyyah, Riyadh, cet. I, 1405 H, Syamilah
[10] Beda mengusap (mash) dan mencuci (ghosl): Mencuci (ghosl) mesti dengan mengalirkan air, sedangkan mengusap (mash) cukup dengan tangan dibasahi lalu diusaplah bagian yang ingin diusap. (ed)
[11] Syarhul Mumti’ 1/97
[12] Taisirul Allam 1/45, Darul Aqidah, Koiro, cet. I, 1422 H