Perbedaan Tipis Antara Motivasi dan Pamer Ibadah
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Salah satu fenomena yang mulai menjangkiti kaum muslimin di zaman sekarang ini adalah dengan gampangnya memberitahukan ibadah yang dia lakukan kepada orang lain. Berbagai sarana media sosial sangat memudahkan untuk meng-update aktivitas ibadah yang sedang dilakukannya, dari sedekah yang dikeluarkan, bacaan Al-Quran yang diindah-indahkan, kegiatan umroh yang dijalani, majelis ilmu yang dihadiri, dan lain sebagainya.
Sebenarnya tak ada masalah jika satu ibadah tertentu diketahui oleh orang lain. Yang menjadi masalah adalah jika niatnya untuk pamer agar orang lain memujinya. Inilah yang disebut riya’, melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Padahal riya’ akan menghapus dan membatalkan amalan shalih. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah).” (QS Al-Baqarah: 264)
Pelaku riya’ memamerkan amalnya agar dipuji, disanjung dan mendapatkan kedudukan di hati manusia. Akibatnya dia tidak akan mendapat ganjaran kebaikan dari Allah, sayangnya manusia pun belum tentu memujinya. Allah berfirman dalam hadits qudsi,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya.” (HR Muslim, no. 2985)
Akan tetapi, jika ada maslahat tertentu, seperti dalam rangka memotivasi dan akan mendorong orang lain serta sahabat-sahabatnya untuk melakukan ibadah yang sama, maka hukum menampakkannya boleh. Allah berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian.” (QS Al-Baqarah : 271)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih utama daripada menampakkannya, karena lebih jauh dari riya’. Kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu orang-orang mengikutinya, maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/701)
Oleh karena itu, pertama-tama tanyakan kepada hati kecil kita sebelum kita memposting dan memberitahukan amalan kita kepada orang lain,
“Ini benar motivasi atau jangan-jangan pamer?”
“Benarkah hati ini sudah ikhlas? Jangan-jangan karena ingin pamer.”
Saudaraku, sesungguhnya ikhlas itu berat, sementara kita tidak yakin amalan kita diterima. Ada yang lebih penting dari ibadah itu sendiri, yaitu bagaimana agar ibadah itu diterima oleh Allah. Para Nabi saja dengan kerendahan hati mereka, masih berdoa mengharap amalnya diterima.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mana merupakan seutama-utama Nabi, ketika melakukan seutama-utama ibadah yaitu membangun Ka’bah, ditemani oleh anaknya yang shalih dan juga Nabi yaitu Nabi Ismail ‘alaihissalam, ditambah ibadah itu atas perintah langsung dari Allah, bersamaan dengan itu beliau tetap khawatir Allah tidak menerima ibadahnya, beliau berdoa,
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ
“Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Lantas kita, yang amalannya belum tentu ikhlas, dilakukan oleh diri kita yang serba kurang, lalu kita pamerkan ke orang lain?! Siapa yang menjamin amalan kita akan diterima oleh Allah?!
Artikel www.muslimafiyah.com
(Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK. | Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)