AdabBimbingan IslamMuamalahRemaja Islam

Tidak Mau Menikah Karena Punya Sakit Parah

Seorang teman yang juga seorang dokter curhat kepada kami, bahwa ia tidak ingin menikah karena mengidap penyakit yang harapan hidupnya bisa dibilang sebentar, yaitu kelainan katub jantung. Baru terdiagnosa ketika ia akan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk melanjutkan studi spesialis. Dan usia ia saat itu adalah usia-usia menikah dan memang usia yang perlu di “panas-panasi” untuk menikah. Kami yang lebih dahulu menikah tentu sering bertanya kepada beliau ‘kapan menyusul’. Akhirnya ia curhat dan terbukan tentang penyakitnya hanya kepada kami saja. Intinya ia tidak mau menikah karena mengidap penyakit yang parah, kelainan jantung, khawatir tidak ada wanita yang mau dengan dia, khawatir tidak bertanggung jawab karena meninggalkan istri dan anak yang masih kecil.

Kisahnya teringat ketika membaca permasalahan yang diajukan kepada syaikh DR. Abdulllah Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah,

Pertanyaan:

سؤال: عندي مرض مزمن منذ طفولتي، يحدث لي انهيار عصبي مفاجئ، كل يوم عدة مرات، وأشتغل في عمل جيد، وأمور المعيشة ميسرة ولله الحمد، والمرض هذا جعلني إنسانًا تعيسًا حيث عجزت عن العلاج وحيث بلغت سنًّا متقدمة، إلا أنني لا أحب الزواج، ولا أفكر فيه، ولا أسمح لأحد أن يناقشني فيه برغم إلحاح أهلي في ذلك، وهذه سنة الله في خلقه، فما رأي الشرع في نظركم في الإحجام عن الزواج؟ وهل علي إثم بهذا؟ أفيدوني بارك الله فيكم.

Saya mempunyai sakit kronis semenjak kecil yaitu kelainan saraf yang tiba-tiba muncul gejalanya, sehari bisa kambuh beberapa kali. Saya bekerja dengan perkerjaan yang baik dan kehidupan yang dimudahkan, alhamdulillah. Penyakit ini membuat hidup saya tidak bahagia, saya tidak bisa sembuh dan saya seperti orang tua. Saya tidak mau menikah, saya tidak memikirkannya dan saya tidak mengizinkan seorangpun berbicara masalah ini denganku walaupun ada paksaan dari keluarga. Inilah sunnatullah kepada hambanya.

Bagaimana pandangan syariat dalam hal enggan menikah? Apakah ada dosanya? Mohon beri kami pentunjuk.

 

Jawaban syaikh:

لجواب: أولًا: نسأل الله لك الشفاء من هذا المرض الذي ذكرته، وعليك الصبر والاحتساب في ذلك، وأما قضية تركك للزواج، فهذا راجع إلى ظروفك، فإذا كان السبب في هذا هو أنه ليس عندك رغبة في الزواج، من ناحية أنه ليس عندك استعداد للزواج من الناحية الخلقية، ولا تحس بشهوة، فإنه لا يتعين عليك الزواج في هذه الحالة، لأنه لا فائدة من الزواج مع عدم وجود الغريزة الجنسية أو الشهوة، فلا حرج عليك في ترك الزواج في هذه الحالة، لأنك معذور.أما لو كان عندك استعداد وعندك القدرة على الزواج، فإنه يشرع لك أن تتزوج ويتأكد في حقك التزوج لأن في الزواج مصالح كثيرة منها:إعفاف نفسك عن الحرام، وإعفاف غيرك.ومنها: التسبب في حصول الذرية التي رغب الإسلام في تحصيلها.أما إذا لم يكن عندك القدرة وليس هناك الدافع الغريزي للزواج فلا حرج عليك في تركه

Pertama-tama kami memohon kepada Allah agar engkau sembuh dari sakitmu. Engkau wajib bersabar dan mengharap pahala. Adapun permasalahan meninggalkan menikah, maka ini teregntung kepada keadaaan.

-jika sebab tidak mau menikah karena engkau tidak punya keinginan menikah, engkau tidak memiliki kesiapan menikah dan tidak memiliki syahwat menikah maka tidak wajib bagi engkau menikah pada keadaaan ini. Karena tidak ada faidah menikah dengan tidak adanya keinginan dan syahwat. Tidak mengapa bagi engkau untuk tidak menikah

-jika engkau ada kesiapan dan punya kemampuan untuk menikah maka disyariatkan dan ditekannya agar engkau menikah. Karena dalam pernikahan ada banyak mashalahat, misalnya:

1.menjaga kehormatan dari hal yang haram dan yang haram lainnya

2.bisa memperoleh keturunan di mana Islam memerintahkannya

Adapun jika tidak ada faktor pendorong berupa keinginan dan syahwat menikah maka tidak mengapa engkau meninggalkan menikah.[1]

 

Alhamdulillah sekarang teman sejawat kami setelah dimotivasi agak lama, beliaupun menikah dan menemukan pujaan hatinya yang sah, seorang dokter juga, yang mau menerima ia apa adanya. Dan mereka sudah mempunyai anak.

Demikianlah menikah banyak berkah dan banyak membawa kemashalahatan. Misalnya:

-menyempurnakan setengah agama

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِى.

“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.’”[2]

Dalam lafazh yang lain disebutkan,

مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ اللهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِى.

“Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang shalihah, maka sungguh Allah telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.”[3]

-berhak mendapat pertolongan Allah jika niatnya menjaga kehormatan diri

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ.

“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” [4]

-mendapat kekayaan dengan menikah

Allah Ta’ala berfirman,

كِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (me-nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (An-Nuur : 32)

Semoga kisah ini bisa menjadi penyemangat kepada mereka yang memiliki kasus serupa dan penyemangat bagi yang tidak punya sakit dan tidak ada halangan sama sekali (tunggu apa lagi ^-^).

 

@RS Mitra Sehat Yogyakarta

penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 

 


[1] Majmu’ fatawa syaikh Al-Fauzan 2/531, syamilah

[2] HR.ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath no. 7643, 8789. Syaikh al-Albani menghasankan dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 625

[3] HR. ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath no. 976 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/161) dan dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (II/404, no. 1916)

[4] HR. Ahmad (II/251, 437), an-Nasa-i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655).  At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Related Articles

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button