Imam Ahmad Ditegur Karena Mengerang Ketika Sakit
Kita diperintahkan agar bersabar dalam berbagai hal, ketika beramal melakukan kebaikan, ketika menahan diri melakukan kemaksiatan dan ketika mendapat musibah. Lebih Baik lagi jika bersabar dengan puncak kesabaran. Karena pahala kesabaran bisa dibalas dengan pahala yang tidak terhingga
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَاب ٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas“. (Surat Az Zumar : 10).
Salah satu bentuk kesempurnaan kesabaran ketika mendapat musibah sakit yaitu tidak mengerang ketika kesakitan. Imam Ahmad rahimahullah ditegur karena Hal ini. Berikut kisahnya:
دخل أحد أصحاب الإمام أحمد عليه وهو مريض رحمه الله فوجده يئن من المرض، فقال له: يا أبا عبد الله! تئن، وقد قال طاووس: إن الملك يكتب حتى أنين المريض، لأن الله يقول: ]ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد[ [ق: 18]
“Salah seorang sahabat Imam Ahmad menjenguknya ketika sakit, ia mendapati Imam ahmad mengerang karena sakit. Maka ia berkata, ‘wahai Abu Abdillah (nama kunyah Imam Ahmad), engkau mengerang? (maksudnya, ahli ilmu seperti engkau kok mengerang ketika sakit), padahal Thawuus telah berkata, ‘sesungguhnya malaikat menulis sampai erangan ketika sakit’, karena Allah berfirman, ‘Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir;.”[1]
Shalih bin Imam Ahmad berkata,
لما رواه صالح بن الإمام أحمد قال: “قال أبي في مرض موته: أخرج كتاب عبد الله بن إدريس فقال: اقرأ عليّ حديث ليث: إن طاووساً كان يكره الأني نفي المرض فما سمعت لأبي أنيناً حتى مات”, “)
“Ayahku berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada kematiannya, ‘keluarkan buku hadits Abdullah bin Idris’. Kemudian ia berkata, ‘bacakan kepadaku hadits Laits’. Adalah Thawuus membenci mengerang ketika sakit, maka aku tidak lagi mendengar erangan dari ayahku samapi beliau wafat.”[2]
Sebenarnya mengerang yang dibenci adalah karena bentuk tidak ridha atau sedikit tidak suka terhadap penyakit, mengerang otomatis karena rasa sakit maka ini tidak mengapa. Jika bisa ditahan maka sebaiknya ditahan karena lebih menunjukkan ridha terhadap takdir Allah.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
ولا شك أن أنين المريض إذا كان ينبئ عن تسخُّط فإنه يُكتب عليه أما إذا بمقتضى الحُمى فإن الله لا يكلف نفساً إلا وسعها
“Tidak diragukan lagi bahwa erangan ketika sakit jika muncul dari rasa marah (tidak terima takdir) maka inilah yang ditulis (sebagai dosa). Adapun jika muncul akibat demam (misalnya), maka sesungguhnya Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.”[3]
Jika mengingat kembali pahala kesabaran dan keutamaan kesabaran atas musibah penyakit dengan keimanan yang kuat tentu kita bisa bersabar.
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَّ جُلُودَهُمْ قُرِضَتْ بِالْمَقَارِيضِ مِمَّا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ أَهْلِ الْبَلاَءِ.
”Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dipotong-potong dengan gunting ketika di dunia, karena mereka melihat betapa besarnya pahala orang-orang yang tertimpa cobaan di dunia.”[4]
Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.”[5]
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ
“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.”[6]
Semoga bermanfaat, Alhamdulillah
Disempurnakan di Lombok, 24 dzulqo’dah 1433 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.Muslimafiyah.com
[1] Syarh Aqidah Al-Wasiitiyyah syaikh Ibnu Utsaimin hal. 40, Darul Aqidah, Koiro, cet. I, 1424 H
[2] Siyar A’lam An-Nubala 11/215, Muassasah Risalah, cet. III, 1405 H, syamilah
[3] Syarh Al-Aqidah As-safariyah hal. 329, Syamilah
[4] HR. Baihaqi: 6791, lihat ash-Shohihah: 2206.
[5] HR. Muslim no. 2572
[6] HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399