Ini Dia Fikih Membantu Orang yang Meminta Tolong
Menolong orang lain yang kesusahan merupakan amalan yang sangat mulia. Datang berbagai dalil yang memotivasi akan hal ini. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
“Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaranya sebelumnya.” (HR. Muslim no. 2699)
Dalam kisah Dzulqarnain, terdapat pelajaran bagaimana potret seorang penguasa yang menolong suatu kaum yang sedang dilanda ketakutan. Mereka berkata,
قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Mereka berkata, ‘Wahai Dzulqarnain! Sungguh, Ya’juj dan Ma’juj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?’.” (QS. Al-Kahfi: 94)
Tentu pekerjaan ini bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kaum tersebut menawarkan upah kepada Dzulqarnain jika berkenan membantu mereka. Namun Dzulqarnain berkata,
قَالَ مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيْرٌ فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
“Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.’” (QS. Al-Kahfi: 95)
Ternyata Dzulqarnain tidak ingin mengambil upah tersebut. Demikianlah sikap penguasa yang benar, jika ia telah diberi kecukupan maka tidak perlu mencari imbalan lagi. Namun Dzulqarnain lebih memilih untuk dibantu dengan segenap kekuatan serta peralatan yang mereka miliki.
Dalam ayat ini, Dzulqarnain mengajarkan kepada kita bagaimana metode membantu seseorang yang memiliki permasalahan, yaitu dengan mengajaknya terlibat langsung dalam permasalahan tersebut. Bisa saja Dzulqarnain sendiri yang mengatasi permasalahan tersebut, tetapi dia lebih memilih untuk melibatkan kaum tersebut berpartisipasi mengatasi masalah mereka sendiri.
Sebagai contoh dalam ranah keluarga, jika seorang anak sedang menghadapi permasalahan maka hendaknya sang ayah tidak langsung menyelesaikannya, namun hendaknya melibatkan sang anak, agar dia bisa ikut merasakan kesulitannya dan bisa belajar bagaimana cara mengatasi kesulitan tersebut. Hal ini sangat penting, karena ketika dewasa nanti mereka akan menghadapi permasalahan yang lebih banyak lagi, sehingga sedari dini mereka telah dilatih menghadapi masalah-masalahnya.
Demikian pula seorang pemimpin. Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang tidak memanjakan masayarakatnya tatkala dihadapkan dengan suatu permasalahan, namun yang mengajak masyarakatnya untuk bekerja sama menyelesaikan masalah mereka.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Izin Share Ustadz.
Jazakallahu Khoiroon.