Hukuman Bagi Para Koruptor dan Solusi Pemberantasan Korupsi
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Belum lama ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus korupsi di negara ini, tidak tanggung-tanggung uang yang dikorupsi mencapai angka ratusan triliun. Tentu bukan angka yang kecil, andai saja digunakan untuk kemaslahatan negara, niscaya uang segitu bisa membangun banyak fasilitas yang bermanfaat untuk masyarakat, bahkan kalau mau dibagi-bagi ke penduduk Indonesia, masing-masing kepala mungkin bisa dapat sejuta.
Korupsi dalam syariat disebut sebagai perbuatan ghulul, yaitu perbuatan mengambil harta secara khianat di luar yang telah ditetapkan untuknya tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR Abu Dawud no. 2943)
Perbuatan ghulul adalah dosa besar dan terdapat banyak ancaman bagi pelakunya, diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ
“Sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya.” (HR Ibnu Majah, no. 2850)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi), dan hutang.” (HR Ahmad, no. 21291)
Sebenarnya praktik-praktik korupsi (ghulul) seperti ini tidak hanya terjadi pada kalangan elit pengusaha atau penguasa, tetapi bahkan menjangkiti rakyat kecil. Perbuatan korupsi bisa dijumpai pada berbagai lapisan masyarakat, baik kelas bawah, menengah, maupun atas dengan berbagai variasi bentuknya. Korupsi uang sekolah, korupsi uang parkir, korupsi dana kantor, korupsi arisan, dan lain sebagainya.
Ada berbagai kemungkinan penyebab budaya korupsi menjamur di tengah masyarakat. Di antaranya karena keimanan yang lemah dan rasa takut kepada Allah yang kurang, ditambah lingkungan yang mendukung, sanksi hukum yang tidak tegas, dan kesempatan untuk korupsi terbuka lebar. Jika ingin memberantas atau minimal menguranginya, maka akar-akar masalah di atas harus diatasi terlebih dahulu.
Di antara solusi yang bisa diterapkan adalah dengan memberi sanksi serta hukuman berat sehingga memberi efek jera bagi pelakunya dan memberi rasa takut bagi orang lain. Untuk para koruptor sendiri sanksi yang tepat baginya adalah ta’zir dan bukan potongan tangan, karena hakikat korupsi bukanlah “mencuri” dalam terminologi syariat.
Ta’zir adalah hukuman yang kadarnya bergantung pada kebijakan pihak yang berwenang. Boleh jadi hukumannya berupa hartanya disita, pelakunya dimiskinkan, dimasukkan ke penjara, atau bahkan bisa dibunuh bila perbuatannya tersebut menimbulkan dampak negatif yang sangat luas.
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata menukil perkataan penulis kitab Al-Ifshah,
اتفقوا على أن المختلس والمنتهب والغاصب على عظم جنايتهم وآثامهم لا قطع على واحد منهم، ويسوع كف عدوان هؤلاء بالضرب والنكال والسجن الطويل والعقوبة الرادعة
“Para ulama sepakat bahwa pencopet, perampok dan perampas harta orang lain meskipun kejahatannya berat dan dosa besar tapi hukumannya bukan potong tangan. Dan diperbolehkan (bagi penguasa) dalam rangka menghentikan kejahatan mereka, untuk menerapkan hukuman cambuk, sanksi berat, penjara lama, dan denda besar yang membuat mereka jera.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/551)
Meskipun hukuman bagi koruptor di dunia bisa seberat itu, tetapi solusi paling utama adalah menumbuhkan keimanan dalam diri setiap orang. Ketika iman kepada Allah dan rasa takut kepada Allah itu tumbuh, maka keinginan untuk melakukan kejahatan bisa tertekan atau bahkan tertutup.
Dia mengingat akan ancaman dan hukuman di alam kubur dan akhirat bagi para pelaku ghulul. Menyadari hal tersebut seringkali lebih ampuh dibanding sekedar mengingat sanksi di dunia, karena sanksi di dunia bisa saja dihindari dengan berbagai tipu muslihat, sedangkan sanksi di akhirat tak mungkin untuk terhindarkan.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)