Adab Ta’aruf: Melalui Perantara dan Hindari Kontak Langsung Terus-Menerus
Ta’aruf adalah kegiatan saling mengenali antara seorang lelaki dan perempuan yang hendak menikah. Syariat tidak mengkhususkan cara tertentu untuk melakukan kegiatan ta’aruf, intinya bagaimana agar kedua belah pihak bisa menggali data pribadi satu sama lain tanpa melanggar aturan syariat.
Perlu dipahami bahwa ketika lelaki dan perempuan tersebut sedang menjalani proses ta’aruf, satu dengan lainnya adalah orang asing sehinga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram, tidak diperkenankan berduaan, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Ta’aruf yang lebih baik dan selamat adalah dengan menggunakan perantara atau pihak ketiga, seperti kakak lelakinya, orang tuanya, atau orang yang dipercaya. Terutama di zaman sekarang ini di mana fitnah dan godaan lawan jenis sangat mudah terjadi.
Ini adalah adab yang dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khadijah radhiyallahu ‘anha tatkala beliau berdua hendak menikah.
Diperbolehkan seorang lelaki ketika di awal kali mengutarakan niatnya menikah, dia langsung sampaikan kepada perempuan yang hendak dia nikahi, semisal dengan tulisan, SMS, atau pesan teks lainnya, akan tetapi pada keadaan ini, lelaki tersebut hendaknya menyampaikan dengan tegas dan langsung, bukan mengawalinya dengan puisi merayu atau malah menggombalnya.
Ketika perempuan tersebut memberi tanda persetujuan, berikutnya bisa saling bertukar biodata/cv dan mencoba saling mengenal lebih dalam melalui perantara. Misalnya ingin mengetahui tentang hobinya, pandangan hidupnya, visi pernikahannya, rencana masa depannya, dan seterusnya.
Jadi, boleh saja seorang lelaki menghubungi langsung perempuan yang hendak dia nikahi, tetapi ketika di awal kali mengutarakan niatnya. Selebihnya melalui perantara, karena itu lebih menjaga hati. Wallahu a’lam.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)