Apakah Paha Termasuk Aurat?

[Rubrik: Faidah Ringkas]
Jika kita memperhatikan sekeliling kita, banyak sekali laki-laki yang suka memakai celana pendek. Hal itu menyebabkan terlihatnya sebagian pahanya. Namun, tidak semua orang menyadari bahwa paha merupakan bagian dari aurat yang harus ditutup dari pandangan orang lain, termasuk di hadapan sesama laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa paha termasuk aurat berdasarkan hadits di atas yang secara jelas menyebutkan batas aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut. Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa paha bukan aurat. Mereka berdalil dengan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata,
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih.” (HR. Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365)
Namun para ulama memahami hadits ini dengan cara yang berbeda. Mereka menjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sengaja menyingkap pahanya, melainkan tersingkap dengan sendirinya akibat kondisi beliau yang sedang menaiki kuda saat berperang. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
فهذا محمول على أنه انكشف الإزار وانحسر بنفسه لا أن النبي صلى الله عليه وسلم تعمد كشفه ، بل انكشف لإجراء الفرس ، ويدل عليه أنه ثبت في رواية في الصحيحين فانحسر الإزار
“Hadits ini ditafsirkan bahwa sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya, bukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja menyingkapnya, tetapi tersingkap karena laju kuda. Hal ini diperkuat dengan riwayat lain yang terdapat dalam Shahihain dengan redaksi yang menyatakan ’فانحسر الإزار’ artinya sarung itu tersingkap dengan sendirinya.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, 3/173)
Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa paha termasuk aurat. Selain itu, sebagai bentuk kehati-hatian, lebih baik mengambil pendapat yang lebih aman agar keluar dari perbedaan pendapat para ulama.
Andaikan paha bukan aurat sekalipun, menutupnya merupakan bentuk menjaga marwah seorang laki-laki. Apalagi jika dia adalah seorang Ustadz atau pendakwah yang tingkah lakunya diperhatikan dan ditiru oleh orang lain. Hendaknya seorang pendakwah berusaha menjaga penampilan dan sikapnya agar tetap berada dalam keadaan yang paling utama, bukan lagi sekadar mempertimbangkan masalah halal atau haram semata.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)