Belajar Agama: Ambil Baiknya Buang Buruknya?
Kaedah “ambil baiknya buang buruknya” merupakan prinsip yang kurang tepat bagi orang awam dalam belajar agama. Dia belum bisa bahasa Arab, metode istidlal (pengambilan dalil) dan istinbath (penarikan kesimpulan) pun belum sama sekali dia pelajari, lantas dia merasa sudah bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Bagaimana mungkin orang yang baru akan belajar bisa membedakannya dengan rinci padahal dia baru ingin belajar.
Jika prinsip tersebut dibenarkan maka tolok ukur kebenaran akan berbeda-beda, masing-masing orang bebas menentukan mana yang baik baginya dan mana yang buruk baginya. Pada akhirnya dia akan memilih sesuai perasaannya bahkan yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Tentu hal ini bertentangan dengan dalil-dalil tentang wajibnya selektif dalam mencari kebenaran dan mencari ilmu, bukan ambil dari sembarang orang lalu merasa bisa mengambil baiknya dan membuang buruknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّجُلُ على دِينِ خليلِهِ فلينظُرْ أحَدُكم مَن يخالِلُ
“Keadaan agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian lihat siapa teman dekatnya.” (HR. Tirmidzi no.2378, hasan)
Jika teman dekat saja yang tidak selalu berbicara agama kita diperintahkan agar selektif dalam memilihnya, maka bagaimana lagi dengan guru agama. Kesimpulannya, prinsip yang benar dalam belajar agama adalah belajar itu kepada Ustadz atau ulama yang sudah benar-benar mumpuni ilmunya yang bisa mengarahkan kepada hal yang baik dan memperingatkan dari hal yang buruk.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)