Bimbingan IslamFaidah Ringkas

Benarkah Jodoh Itu Cerminan Diri?

[Rubrik: Faidah Ringkas]

Menikah adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup manusia. Pasangan hidup bukan sekadar teman di atas pelaminan, melainkan seseorang yang akan menemani kita dalam suka dan duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kelapangan maupun kesempitan.

Oleh karena itu, memilih jodoh bukan perkara sepele, karena pasangan kita akan sangat memengaruhi arah hidup, ketenangan batin, bahkan masa depan anak-anak dan keturunan kita.

Jika seseorang dipertemukan dengan pasangan yang baik, taat kepada Allah, penuh kasih sayang, dan bertanggung jawab, maka rumah tangganya cenderung berjalan dalam kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika ia terikat dengan pasangan yang buruk, jauh dari agama, dan berakhlak buruk, maka hidup akan terasa sempit.

Untuk mendapatkan pasangan yang baik, tentu diri kita harus baik pula. Sebab jodoh seringkali cerminan kualitas diri kita. Allah berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik.” (QS. An-Nuur: 26)

Ayat ini menjadi harapan dan pegangan bahwa kebaikan seseorang merupakan sebab dipertemukannya dia dengan pasangan yang juga baik. Mengapa demikian? Secara naluri, orang baik akan mencari yang baik pula. Seorang pemuda yang rajin menghadiri majelis ilmu tentu akan mencari perempuan yang menghargai ilmu. Sebaliknya, laki-laki yang terbiasa dengan gaya hidup dan pergaulan bebas, akan cenderung mencari pasangan yang serupa.

Namun timbul pertanyaan: Apakah ayat di atas bermakna bahwa setiap orang baik pasti selalu mendapatkan pasangan yang baik? Bagaimana dengan Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam yang memiliki istri yang durhaka? Atau Asiyah, istri Firaun, wanita ahli surga yang bersuamikan manusia paling bengis? Belum lagi realita hari ini, tidak sedikit menampilkan orang shalih dan shalihah yang diuji dengan pasangan yang tidak sejalan dalam keimanan, akhlak, atau prinsip hidup. Lalu bagaimana memahami semua ini?

Para ulama menjelaskan bahwa ayat di atas adalah sebuah kaidah umum yaitu hukum asal yang berlaku secara mayoritas. Bahwa orang-orang baik akan dipertemukan dengan sesama yang baik, dan sebaliknya. Tetapi bisa saja terjadi pengecualian pada sebagian keadaan, karena setiap kaidah itu ada pengecualian. Meski demikian, pengecualian itu tidak akan meruntuhkan kaidah yang ada sebab jumlah pengecualiannya yang sangat sedikit.

Az-Zajjaji berkata dalam kitabnya,

وقد ذكرنا أن الشيء يكون له أصل يلزمه، ونحو يطرد فيه، ثم يعترض لبعضه علة تخرجه عن جمهور بابه، فلا يكون ذلك ناقصا للباب كما مثلنا فيما تقدم. وذلك موجود في سائر العلوم، حتى في علوم الديانات كما يقال بالاطلاق الصلاة واجبة على البالغين من الرجال والنساء، ثم نجد منهم من تلحقه علة تسقط عنه فرضها

“Telah kami sebutkan bahwa setiap bab itu memiliki hukum asal dan pola yang berlaku padanya. Kemudian ada sebagian kecil kasus yang menyelisihi hukum asal tersebut, namun hal itu tidak mencederai hukum umum tersebut, sebagaimana telah kami contohkan sebelumnya. Hal ini berlaku dalam semua cabang ilmu, termasuk ilmu agama. Misalnya: shalat itu wajib bagi laki-laki dan perempuan yang sudah baligh, namun kenyataannya ada kondisi tertentu yang menggugurkan kewajiban tersebut.” (Al-Idhah fii ‘Ilalin Nahwi, hal 72-73)

Tentu kita tidak akan mengatakan bahwa “shalat kadang wajib dan kadang tidak”, hanya karena ada beberapa orang yang dikecualikan!? Jika kita tidak memegang kaidah asalnya maka kita akan kesulitan menetapkan hukum di setiap pembahasan, karena setiap kaidah memiliki pengecualian.

Dengan demikian, jika seorang yang shalih bertemu dengan pasangan yang tidak sepadan dalam kebaikan, itu bukan berarti Allah menyalahi janji-Nya. Bisa jadi itu adalah ujian untuk meninggikan derajatnya, melatih kesabaran, atau membuka jalan dakwah dan perbaikan. Sebaliknya, bertemunya dua insan dalam kebaikan adalah anugerah dan rahmat dari Allah yang patut disyukuri dan dijaga dengan baik.

Tetaplah menjadi pribadi yang baik, bukan demi jodoh, tetapi demi ridha Allah. Sebab jodoh adalah cerminan takdir dan ujian, bukan sekadar cerminan diri.

Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button