Memahami Fatwa Secara Utuh
Ketika ada fatwa: Menabung di bank hukumnya asalnya haram, karena membantu riba, tapi menjadi boleh (mubah) karena darurat dan kebutuhan mendesak (alasan keamanan)[1]
Maka yang dipahami oleh masyarakat adalah BOLEH/MUBAH menabung di bank karena darurat, karena ini adalah kesimpulan akhirnya
Tapi bisa jadi ada yang sudah terlanjur “anti bank” yang HANYA menyorot sebagian fatwa saja, yaitu bagian haram saja dengan mengatakan:
“Riba ya haram, jangan tolong menolong dalam keburukan”
“Riba ya riba, anda akan diperangi Allah dan Rasulnya, termasuk yang mendukung riba”
“Darurat dari mana? Masih bisa simpan dibawah bantal atau berangkas rumah”
Demikian juga dengan fatwa: Vaksin masih menggunakan bahan haram, tetapi BOLEH/MUBAH karena darurat
Maka yang kita pahami adalah kesimpulan akhirnya yaitu bolehnya vaksin karena darurat
Tapi bisa jadi ada yang sudah terlanjur “antivaksin” yang HANYA menyorot sebagian fatwa saja, yaitu bagian haramnya saja dengan mengatakan:
“Haram ya haram”
“Babi ya babi”
“Kok bisa MUI bilang darurat?”
TENTU TIDAK BIJAK: apabila, ada orang yang sangat menyorot haramnya saja, tapi ternyata masih bergelut dengan riba, seperti KPR rumah, cicilan motor dan mobil dengan KPR riba, dan tidak pernah menghitung dan membersihkan bunga bank ketika menabung
Masih ada fatwa lain yang sejenis, yang boleh karena alasan darurat kemudian dipahami adalah kesimpulan akhirnya, yaitu boleh karena darurat, misalnya:
1. Berobat ke dokter laki-laki karena tidak ada dokter perempuan sama sekali
2. Ikut pemilu karena darurat
Bahkan ada yang ada juga yang beralasan: boleh ikhtilat atau berkhalwat di kantor karena darurat, wanita boleh safar tanpa mahram karena darurat, boleh ambil KPR riba rumah karena darurat
Karena darurat katanya …. (maaf kami tidak setuju juga jika bermudah-mudahan dan mengeneralisir darurat semua)
Terkait dengan vaksin, maaf, perlu dijelaskan: MUI sendiri yg mengatakan darurat
Tidak bijak jika ada yg mempermasalahkan:
“Daruratnya vaksin di mana?”
“Sedarurat apa sih”
Padahal sebelumnya sangat menunggu fatwa dan arahan MUI
Jika ulama MUI tidak dianggap, ahli kesehatan tidak diangggap, lalu siapa yang menjadi rujukan?
Semoga fatwa MUI, ulama kita, menenangkan kita semua
NOTE:
1. Vaksin yang menggunakan enzim babi pada program pemerintah hanya MR dan polio, mayoritas vaksin tidak pakai enzim babi. Mohon tidak digeneralisir semua vaksin pakai babi
2. Enzim babi berfungsi sebagai katalisator dan sudah tidak ada pada hasil akhir reaksi, jadi vaksin ini TIDAK MENGANDUNG BABI. Beberapa ulama menjelaskan tidak haram dengan kaidah istihalah dan istihlak
Fatwa Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul
.
(بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال)
.
“Penjelasan untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO” [Sumber: http://www.iifa-aifi.org/2647.html]
.
Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami
atau Liga Muslim Sedunia adalah organiisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam
3. Kami sangat menghormati pendapat yang tidak menerima kaidah istihalah dan istihlak pada vaksin, sehingga meskipun tidak ada pada hasil akhir tetap saja haram dan boleh karena darurat.
Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat
@ Gemawang, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Catatan kaki:
[1] silahkan baca:
https://konsultasisyariah.com/10579-hukum-menabung-di-bank.html