AdabBimbingan IslamKesehatan IslamMuamalah

Qadhi Berilmu Salah Ijtihad Dapat Pahala, Kalau Dokter Berkompenten?

Kasus kriminalisasi dokter memang sedang hangat-hangatnya dan hampir semua media meliput dan membicarakannya. dan kami sudah membuat tulisan terkait hak tersebut. insyaAllah dalam padangan Agama Islam, tidak tepat bahwa dokter/thabib harus dikriminalisasi dan diperlakukan seperti penjahat.

Silahkan baca lagi:
Wajarkah Dokter Dipenjara Jika Melakukan Malpraktek?

 

Qadhi berilmu salah ijtihad mendapat satu pahala

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”[1]

tentu  saja yang mendapat satu pahala adalah ulama yang benar-benar berilmu dan tahu bagaimana berijtihad bukan sembarangan orang.

Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan ijma’ ulama, beliau berkata:

قال العلماء : أجمع المسلمون على أن هذا الحديث في حاكم عالم أهل للحكم ، فإن أصاب فله أجران : أجر باجتهاده ، وأجر بإصابته ، وإن أخطأ فله أجر باجتهاده

“Ulama berkata, kaum muslimin bersepakat bahwa hadits ini mengenai hakim yang menguasai hukum Islam. Jika ia benar mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahal kebenaran. Jika salah maka hanya mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya.”[2]

Lalu bagaimana dengan dokter yang  berkompeten,  sudah belajar dengan lama (dokter umum 6 tahun, spesialis 4-7 tahun). Mereka sebelum lulus ada ujian kompetensi dan setiap tahun harus ikut update ilmu untuk mencicil poin agar setiap lima tahun bisa memperbaharui izin praktek.

Jika saja  dokter kompeten yang berusaha untuk menyelamatkan pasien dengan kompetensinya, kemudian ia juga tidak melakukan kelalaian. Dan memang kejadian tersebut adalah hal yang sulit dihindari atau sebagai komplikasi dari penyakit. Tentu layak lagi dokter mendapat udzur dan permakluman.

 

berkata-kata atas nama Allah dengan sembarangan lebih besar dosanya dari syirik

jika seserang sembarangan berfatwa, maka dosanya sangat besar, begitu juga ancamannya, baik dunia dan akhirat. Bahkan ia akan menanggung dosa semua orang yang melaksanakan fatwa salah dari dia. Dan dosanya di atas dosa kesyirikan (padahal dosa kesyirikan adalah dosa yang paling di larang).

Berikut urutan besarnya dosa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan[1] perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan [2]perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) [3]mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) [4] mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’raf: 33)”

Mengapa dosanya di atas dosa kesyirikan? Karena dosa syirik sumbernya adalah berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan ayat mengatakan,

فرتب المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه

“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”[3]

 

Jik salah berfatwa dosanya ditanggung dunia dan akhirat, sedangkan salah berijtihad masalah obat dan terapi hanya kerugian di dunia saja, maka kita tahu apakah layak  mendapat udzur?

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

 

@Perpus FK UGM

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 


[1] HR. Bukhari no. 3609 dan Muslim no. 2214

[2] Al-Minhaj Syarh Muslim 12/14,  Dar Ihya’ At-Turast, 1392 H, cet. 2, syamilah

[3] I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1411 H, Asy-Syamilah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button