Bimbingan IslamFatwa KedokteranFiqhKesehatan IslamMuamalahRemaja Islam

Setelah Menggauli Istri, Suami Ingin Mengulangi Kembali (Syariat dan Medis)

Pertanyaan:

Apa hukumnya jika suami ingin mengulangi lagi setelah berhubungan intim? Apakah berbahaya secara medis?

Jawaban:

Boleh bagi saja suami jika ingin mengulangi lagi setelah berhubungan Intim. Tentunya setelah istirahat sebentar, setelah melalui fase “flacid” yaitu fase melemah setelah semburan keluarnya air mani. Fase “flacid” ini berbeda-beda setiap orang tergantung usia, stamina, hormon, daya tahan tubuhnya dan lain-lain. Ada yag panjang dan ada yang pendek.

Jika mampu mengulangi dengan cepat, maka bisa jadi ini adalah nikmat dari Allah bagi suami ataupun istri dengan komunikasi yang baik. Karenanya salah satu kenikmatan di surga adalah kekuatan dalam berjima’ yaitu 100 kali lipat.

Rasululllah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يُعْطَى قُوَّةَ مِئَةِ رَجُلٍ فِي الْأَكْلِ، وَالشُّرْبِ، وَالشَّهْوَةِ، وَالْجِمَاعِ

Sesungguhnya laki-laki penduduk surga diberikan kekuatan 100 orang laki-laki dalam hal makan, minum, syahwat, dan jima’[1]

BOLEH saja mengulangi, tetapi sebaiknya suami disunnahkan agar berwudhu atau mandi dahulu jika ingin mengulangi. Bisa jadi ini agar “lebih memaksimalkan istirahat fase flacid”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.”[2]

Yang dipertintahkan mandi adalah suami saja (apalagi hanya suami yang mengalami fase flacid). Sebagaimana Fatwa Al-lajnah Ad-Daimah

الوضوء مشروع عند إرادة معاودة الجماع في حق الرجل ؛ لأنه هو الذي أُمر بذلك دون المرأة ” انتهى

Wudhu disyariatkan ketika ingin mengulangi jima’ dan berlaku untuk laki-laki (suami), karena suami yang diperintahkan, bukan istrinya.”[3]

Berdasarkan hadits dan dalil lainnya, lebih dianjurkan mandi. Sebagaimana penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,

لأولى: أن يغتسل قبل أن يعود، وهذه أكمل المراتب

الثانية: أن يقتصر على الوضوء فقط قبل أن يعود، وهذه دون الأولى.

الثالثة: أن يعود بدون غسل ولا وضوء، وهذه أدنى المراتب وهي جائزة.

لكن الأمر الذي ينبغي التفطن له أن لا يناما إلا على إحدى الطهارتين إما الوضوء أو الغسل

“Tingkat pertama: Mandi sebelum mengulangi, ini adalah yang terbaik

Tingkat kedua: mencukupkan dengan berwudhu sebelum mengulangi

Tingkat ketiga: mengulangi tanpa mandi dan tanpa wudhu, ini adalah tingkat terendah

Akan tetapi hendaknya diperhatikan, sebaiknya tidur (setelah jimak’) dalam keadaan suci baik dengan wudhu ataupun mandi.”[4]

 

Pandangan secara medis

Tidak masalah secara medis jika hendak mengulang kembali berhubunan intim dengan istri. Hal ini wajar bagi beberapa orang terutama pemuda dan mereka yang memang memiliki kekuatan. Akan tetapi , untuk bisa berulang kali sebaiknya jangan mengunakan “obat kuat” atau terus-menerus menggunakannya. Karena berbahaya bagi jantung dan pembuluh darah. Cara kerjanya adalah dengan membuat pelebaran pembuluh darah dan mempercepat aliran darah. Bagi mereka yang mempunyai masalah dengan pembuluh darah dan jantung, bisa berbahaya.

Karena mungkin pernah kita dapati kasus oran yang meninggal “di atas tubuh pelacur” ketika berhubungan badan (wal’iyadzu billah). Karena sebelumnya mereka mengkonsumsi obat ini untuk memaksakan diri akan tetapi memiliki penyakit tersebut.

 

Istri juga ingin mendapatkan kenikmatan jima’

Jika ingin mengulangi sebaiknya istri juga diperhatikan, karena istri juga ingin mendapatkan kenikmatan tersebut. Jangan sampai mengulangi atau selama ini, istri tidak pernah merasakan kenikmatan. Baik karena caranya yang kurang tepat misalnya tidak ada pemanasan atau yang lainnya.

Sebagaimana perkaaan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata,

لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).”[5]

Jika laki-laki punya syahwat, maka wanita juga. Dan sama saja, hanya saja wanita tertutup oleh rasa malu. Dia juga bisa kecewa jika tidak mendapatkannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما النساء شقائق الرجال

“Sesungguhnya wanita itu saudara kandung laki-laki.” [6]

Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

:أنه إذا أتى أهله فقد أحسن إلى أهله، لأن المرأة عندها من الشهوة ما عند الرجل، فهي تشتهي الرجل كما يشتهيها، فإذا أتاها صار محسناً إليها وصار ذلك صدقة.

“jika seorang laki-laki “mendatangi” istrinya hendaklah “berbuat baik” kepadanya. Karena wanita memiliki syahwat sebagaimana laki-laki. Wanita juga mempunyai “keinginan” sebagaimana laki-laki mempunyai “keinginan”. Jika ia mendatangi istri dengan “berbuat baik” padanya maka ini termasuk sedekah.”[7]

 

 

NOTE:
Perlu diketahui bahwa Islam tidak secara vulgar dan rinci menjelaskan bagaimana “berhubungan”  yang baik dan berkualitas. Dan termasuk kesalahan adalah menyebarluaskan dan merinci dengan serincin-rincinya. Memberitahu posisi A, posisi B, tehnik A, tehnik B, bahkan dengan gambar-gambar yang sangat berbahaya jika dilihat oleh pemuda dan anak-anak. Karena masalah ini adalah fitrah manusia dan insting manusia akan tahu sendiri. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang jelas antar suami-istri dan gambaran dasar, maka sudah cukup. Selebihnya fitrah dan insting mereka yang jalan.

Walaupun beberapa buku petunjuk ataupun buku berlabel islami ditulis “buku ini bagi yang sudah atau akan menikah” maka tidak menjamin akan aman. Bahkan semakin dilarang, orang semakin mencari sebagaimana pepatah arab,

كل ممنوع مرغوب

“Setiap yang dilarang umumnya diinginkan/dicari

 

Demikian semoga bermanfaat

@Kereta Api Yogyakarta-Cileungsi

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

[1] HR. Ahmad no.18509. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al Mawarid 2230

[2] HR. Muslim

[3]  Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa’imah 19/350

[4] Majmu’ Fatawa syaikh Ibnu Ustaimin 11/167

[5] Al-Mugni lbni Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah

[6] HR. Ahmad no.26195, hasan lighairihi, tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth

[7] Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah libni Utsaimin hadits ke-15

Related Articles

6 Comments

  1. Jazakumullahu khairan. Masyaallah ustadz ana jadi tau ternya ada sunnahnya, Insyaallah ana akan peraktekkan jika mampu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button