Thibbun Nabawi & Syarat-Syarat Pengobatan
RESUME KAJIAN ILMIAH (SUNNAH)
Sabtu, 26 Oktober 2019 Masehi (27 Shafar 1441 Hijriah)
Pemateri : Al Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK حَفِظَهُ اللهُ تعالى
(Alumni Ma’had al-Ilmi Yogyakarta, Alumni Fakultas Kedokteran UGM)
Summary by : ASR @zaujatudanu
Supported by : DK Masjid Nurul Amal, Samping SD Yasporbi III, Jl. Aup Raya no. 1A, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
______
Berikut syarat-syaratnya :
1. Dilakukan oleh ahlinya yang berilmu dan sudah belajar (dalam waktu yang lama)
2. Dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman
Maka tidak bijak jika ada orang yang mengikuti pelatihan sekali-dua kali tiba-tiba buka praktek
Contoh, di Saudi jika orang ingin membuka praktek bekam harus sekolah 2 tahun terlebih dahulu..
3. Sesuai dosis dan indikasinya
Minum madu dan habbatus sauda tanpa dosis dan indikasi (asal-asalan) bukanlah konsep thibbun nabawi
4. Memiliki kemampuan diagnosis penyakit
Harus bisa mendeteksi penyakit..Tidak sekedar membaca atau teori saja, tetapi pernah mengamati, mengobati, dll. Dan ini butuh belajar yang lama.
5. Thibbun Nabawi terkait dengan keimanan
Apabila keimanan sedang lemah bisa jadi tidak menyembuhkan dan sembuh dengan izin Allah
—
Muqadimah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮْﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧِﺴَﺂﺀً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺴَﺂﺀَﻟُﻮْﻥَ ﺑِﻪِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺣَﺎﻡَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭَﻗِﻴْﺒًﺎ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻗُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻗَﻮْﻻً ﺳَﺪِﻳْﺪًﺍ. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮْﺑَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ ﻓَﻮْﺯًﺍ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ. ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.
—
▪ Definisi Thibbun Nabawi
Thibb artinya kedokteran..
Dan Nabawi artinya menisbatkan kepada Nabi ﷺ..
Maka konsep thibbun nabawi harus ada dalil dari al-qur’an, sunnah, penjelasan ulama, dan tafsiran ayat / hadits yang berbicara tentang kedokteran, kesehatan, dan segala macam obat yang terkait..
Misalnya tentang habbatussauda,
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام
”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian.” (Muttafaqun ‘alayhi Hadits Riwayat Bukhari)
Dalam riwayat lain lain disebutkan kecuali ketuaan (penyakit tua)..
Dalam bahasa Arab, kata كُلِّ dalam hadits tersebut bermakna semuanya atau mayoritas..
Contoh “semuanya” :
Hadits : Rasulullaah ﷺ bersabda,
َكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“.., setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Hadits Riwayat Muslim no. 867)
Karena tidak ada sesat selain di neraka..
Contoh untuk “mayoritas” :
Allah ﷻ berfirman :
َ ۗ كُلُّ شَيْءٍ هَا لِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَـهُ الْحُكْمُ وَاِ لَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“… Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah…” (Al-qur’an Surat Al-Qashas 28 : 88)
Padahal Allah ﷻ juga memiliki tangan, kaki, tetapi tidak semua disebutkan, ini berarti mayoritas..
Dan untuk hadits habbatussauda ada ulama berpendapat lain bahwa habbatussauda tidak menyembuhkan semua penyakit tapi mayoritas, dan pendapat yang rajih (kuat) adalah dapat menyembuhkan semua penyakit..
Jadi dalam konsep thibbun nabawi kita perlu melihat penjelasan Ulama tentang dalil tersebut bicara tentang apa, tidak boleh mensyarah sendiri..
Tidak boleh membuat tafsiran / syarah sendiri, tetapi lihatlah tafsir Ulama..
Karena berbeda antara makanan bergizi dengan obat!
Contoh firman Allah ﷻ tentang pisang, apakah itu menjelaskan tentang kedokteran atau tidak, harus paham..
Kita tidak boleh sembarangan menisbatkan pada Nabi ﷺ padahal bukan..
Dari al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4)
Contoh lainnya tentang madu, ayat ini menjelaskan tentang kesehatan..
Allah ﷻ berfirman :
ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَا سْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۗ يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَا بٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَا نُهٗ فِيْهِ شِفَآءٌ لِّلنَّا سِ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan, lalu tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” (Al-qur’an Surat An-Nahl 16 : 69)
Menurut Ulama, thibbun nabawi adalah semua yang disebut dalam al-qur’an dan sunnah yang shahih yang bicara tentang kesehatan atau pencegahan..
Contoh :
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwa pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Menurut Ulama, tidak harus kurma ajwa, tetapi kurma apapun, karena yang menyembuhkan adalah Allah ﷻ..
—
Menurut Imam Ibnul Qayyim رَحِمَهُ اللهُ تعالى dalam Kitabnya Thibbun Nabawi, agar disebut thibbun nabawi harus memenuhi syarat-syarat pengobatan..
Berikut syarat-syaratnya :
1. Dilakukan oleh ahlinya yang berilmu dan sudah belajar (dalam waktu yang lama)
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barangsiapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” (Hadits Riwayat Nasai)
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah رَحِمَهُ اللهُ تعالى berkata,
فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة
“Maka wajib mengganti rugi (bertanggung jawab) bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui / mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya.” (Thibbun Nabawi halaman 8)
Menurut Ulama :
a. Tidak boleh menjadi dokter jadi-jadian
b. Harus belajar
Ada proses dan membutuhkan waktu yang lama..
Imam asy-Syafi’i رَحِمَهُ اللهُ تعالى menyampaikan nasihat kepada muridnya.
“Akhi, kalian tidak akan pernah mendapatkan ilmu kecuali dengan 6 perkara ini, akan aku kabarkan kepadamu secara terperinci yaitu dzakaa-un (kecerdasan), hirsun (semangat), ijtihaadun (cita-cita yang tinggi), bulghatun (bekal), mulazamatul ustadzi (duduk dalam majelis bersama ustadz), tuuluzzamani (waktu yang panjang).”
Maka tidak bijak jika ada orang yang mengikuti pelatihan sekali-dua kali tiba-tiba buka praktek!
Contoh, di Saudi jika orang ingin membuka praktek bekam harus sekolah 2 tahun terlebih dahulu..
2. Dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman
Jangan sampai pasien jadi tempat uji coba (kelinci percobaan), dikhawatirkan malah tambah parah, tidak ada kemajuan, dll..
Jika tidak tahu bilang tidak tahu..
Jangan sampai ketika gagal malah bilang seperti ini kepada pasien, “afwan akhi, qadarullaah. Kita hanya tawakkal dan ikhtiar..”
Contoh : sebelum menyuntik belajar dulu tentang anatomi, kemudian belajar dulu mempraktekan pada mayat, kemudian latihan dengan boneka / manekin, baru praktekan ke pasien sungguhan (itupun di bawah bimbingan senior)..
3. Sesuai dosis dan indikasinya
Inilah yang paling penting dalam konsep thibbun nabawi dan dijelaskan oleh para Ulama, seperti Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah رَحِمَهُ اللهُ تعالى dll..
Rasulullah ﷺ bersabda,
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ. فَقَالَ: اِسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: فَعَلْتُ. فَقَالَ: صَدَقَ اللهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيْكَ، اسْقِهِ عَسْلاً. فَسَقَاهُ فَبَرَأَ
“Ada seseorang menghadap Nabi ﷺ, ia berkata, ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya (dalam riwayat lainnya : sakit diare).’
Nabi ﷺ berkata, ‘Minumkan ia madu.’
Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya,
Nabi ﷺ berkata, ‘Minumkan ia madu.’
Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga,
Nabi ﷺ tetap berkata, ‘Minumkan ia madu.’
Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan, ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’
Nabi ﷺ bersabda, ‘Allah Maha Benar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’
Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranyapun sembuh.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Penjelasan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah رَحِمَهُ اللهُ تعالى, bahwa dalam proses pengulangan pemberian madu tersebut terdapat konsep thibbun nabawi. Obat itu ada kadar / dosisnya sesuai keadaan penyakit..
Ada penyakit ringan, sedang, berat, dosisnya berbeda..
Menurut Ibnu Hajar al-asqalani رَحِمَهُ اللهُ تعالى, sungguh para tabib sepakat, bahwa satu penyakit itu berbeda cara pengobatannya, sesuai dengan perbedaan umur (bayi, anak, dewasa, orangtua, ibu hamil, dll berbeda), dan keadaan dia dan makanan yang jadi makanan kebiasaannya.
Contoh : ginseng Korea. Menurut orang Korea setelah memakannya maka akan kuat, tetapi berbeda dengan orang Jawa. Mereka baru merasa “enakan” jika meminum jahe / temulawak, dll..
Jika dosisnya kurang, maka tidak menyembuhkan, dan jika berlebihan, maka akan timbul bahaya lain. Jadi harus tepat..
Ini baru satu penyakit, belum penyakit lain, pasti berbeda dosisnya..
Misalnya minum madu atau habbatussauda tanpa dosis yang benar dan tepat, maka ini bukanlah konsep thibbun nabawi..
Contoh : minum madu setiap hari karena kebiasaan, jika sesuai dosisnya maka termasuk thibbun nabawi, jika tidak maka hanya sekedar minum minuman bergizi saja..
Bagaimana cara mengetahui dosis dan indikasi?
Yakni melalui ilmu tabib-tabib terdahulu..
Contoh : Saat orang Mesir kuno menemukan di dalam Piramid yang sudah bertahun-tahun ada madu dan masih bagus..
Ini karena madu itu tidak busuk!
Dan pada zaman sekarang, melalui penelitian ilmiah yang valid (menyingkirkan faktor kebetulan), dan bukan sekedar testimoni..
4. Memiliki kemampuan diagnosis penyakit
Dokter harus bisa mendeteksi penyakit..
Tidak sekedar membaca atau teori saja, tetapi pernah mengamati, mengobati, dll. Dan ini butuh belajar yang lama..
Jika tidak sesuai, asal praktek, maka itu bukanlah konsep thibbun nabawi, malah merusak konsep thibbun nabawi..
Harusnya thibbun nabawi itu menjadi syiar Islam..
Thibbun Nabawi bukan pengobatan alternatif, tetapi pengobatan utama..
Menurut Ibnu Hajar al-asqalani رَحِمَهُ اللهُ تعالى, thibbun nabawi yakin sembuhnya, karena muncul dari wahyu. Yang lainnya hanya dari uji coba / eksperimen..
Jika sakit, maka segeralah berdoa dan ruqyah, ini bukan alternatif asal sesuai syarat-syaratnya..
Mendeteksi penyakit harus sesuai ilmunya dan spesifik..
Jangan hanya melihat tangan atau mata dll langsung mendiagnosis, karena ini terlalu general (umum)..
5. Thibbun Nabawi terkait dengan keimanan
Konsep ini tidak ada dalam konsep pengobatan lain..
Thibbun nabawi sebenarnya berdoa kepada Allah ﷻ, dan mendapat keberkahan misalnya lewat madu dll, tergantung tingkat keimanannya..
Contoh kisah berikut :
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »
Dari Abu Sa’id al l-Khudri, bahwa ada sekelompok shahabat Rasulullah ﷺ dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu.
Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para shahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an) karena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.”
Di antara para shahabat lantas berkata, “Iya ada.”
Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat al-Fatihah.
Akhirnya, pembesar tersebut sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi ﷺ..
Lalu ia mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat al-Fatihah.” Rasulullah ﷺ lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu al-Fatihah adalah ruqyah (artinya: bisa digunakan untuk meruqyah)?” Beliaupun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201)
Kita yakin bahwa al-qur’an adalah penyembuh, tetapi kita belum tentu bisa seperti Abu Sa’id al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ..
Allah ﷻ berfirman :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْـقُرْاٰ نِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ ۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَا رًا
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang dzalim (al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Al-qur’an Surat Al-Isra’ 17 : 82)
Tetapi itu tergantung keimanan, apalagi kita yang banyak maksiat, imannya kadang naik kadang turun, maka bisa saja tidak Allah kabulkan..
Ketika sakit, kita tidak hanya terpaku pada thibbun nabawi saja, karena para shahabat juga memakai pengobatan lain, jadi tidak ghuluw (berlebihan) tidak mau pengobatan lain (misal pengobatan modern, dari kafir, dll)
Dan praktek para Ulama adalah dikombinasikan..
‘Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا saja tidak begitu, padahal beliau adalah dokter yang cerdas..
Dahulu para shahabat mengetahui bahwa beliau adalah ahli agama karena beliau adalah istri dari Rasulullah ﷺ, beliau juga diketahui sebagai ahli sejarah karena beliau adalah anak dari Abu Bakar ash-shiddiq رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang seorang ahli sejarah, tetapi mereka bertanya darimana ‘Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا bisa mengetahui berbagai macam obat?
Dan beliau رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menjawab, “ketika para tabib tiba di Madinah saya belajar, begitu juga ketika Rasulullah ﷺ sakit dan diobati oleh para tabib, saya juga belajar darinya..”
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رَحِمَهُ اللهُ تعالى, “Saya berpendapat sebaiknya manusia mengkombinasikan antara ini (ruqyah syar’iyyah) dengan itu (kedokteran modern)).
Contoh : Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr (ahli thibbun nabawi zaman ini) saja saat sakit (terkena diabetes) rutin suntik insulin..
—
وَاللّهُ أعلَم بِالصَّوَاب
(Wallaahu a’lam bishshawaab)
—
Semoga kita bisa memahami konsep thibbun nabawi dengan benar dan tepat..
Semoga tulisan ini bermanfaat, diluruskan niatnya dalam menulis, menjadi pengingat bagi pemateri, penulis, dan pembaca, serta menjadi pahala jariyah bagi semuanya..
Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin