Bolehkah Berhubungan Intim Tanpa Busana?
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga adalah bagaimana kedua pasangan suami istri tersebut menjalani kegiatan berhubungan intim. Bahkan dalam Islam, kegiatan ini menjadi salah satu hal yang diperhatikan bahkan diajarkan tentang sunnah-sunnahnya hingga larangan-larangannya.
Secara umum, Islam membebaskan bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan hubungan intim untuk melakukannya sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka berdua. Bagaimana melakukannya kembali kepada kesepakatan pasangan tersebut, dengan syarat melalui lubang kemaluan, bukan melalui dubur dan tidak dilakukan di masa haid. Allah Ta’ala berfirman,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah: 223).
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
أي موضع الزرع من المرأة وهو قبلها الذي يزرع فيه المني لابتغاء الولد , ففيه إباحة وطئها في قبلها , إن شاء من بين يديها , وإن شاء من ورائها , وإن شاء مكبوبة. وأما الدبر فليس هو بحرث ولا موضع زرع
“Tempat bercocok tanam pada wanita adalah di kemaluannya yaitu tempat mani bersemai untuk mendapatkan keturunan. Ini adalah dalil bolehnya menyetubuhi istri di kemaluannya, terserah dari arah depan, belakang atau istri dibalikkan. Sedangkan dubur bukanlah tempat bercocok tanam.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 6)
Tentang larangannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ini menunjukkan bahwa bagaimana kegiatan hubungan intim itu dilakukan kembali kepada kesepakatan pasutri, selama bukan di dubur dan bukan di masa haid. Tentu ada adab-adab lainnya mengenai hubungan ranjang, namun tidak dibahas dalam artikel ini.
Namun, ada satu polemik yang sering menjadi perbincangan masyarakat berkaitan dengan hubungan intim ini yaitu hukum melakukannya tanpa busana. Ada anggapan di masyarakat bahwa berhubungan intim tanpa busana adalah hal yang dilarang dan tak pantas. Hal ini didukung oleh sebuah hadits,
إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 163)
Tetapi para ulama menilai hadits ini sebagai hadits yang munkar, tidak shahih, dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang menegaskan bolehnya suami istri untuk melihat satu sama lain. Di antaranya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321)
Al-Hafizh lbnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
واستدل به الداودي على جواز نظر الرجل إلى عورة امرأته وعكسه
“Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.” (Fathul Bari, 1: 364)
Dengan demikian, suami istri boleh melihat satu sama lain, tidak ada batasan aurat di antara mereka sama sekali. Jika mereka menghendaki untuk tidak berbusana saat berhubungan intim demi menambah kenikmatan dan keromantisan maka itu boleh saja, selama keduanya saling ridha dan saling menghargai.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)