Anak Terlantar Karena Suami Tidak Paham Fiqih Menafkahi Keluarga
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Seorang suami merupakan orang yang berkewajiban dalam menafkahi keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Quran, Allah berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 33)
Di dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Seorang ayah yang mampu maka dia wajib menafkahi anaknya yang tidak memiliki kecukupan harta. Untuk anak laki-lakinya dia nafkahi hingga berusia baligh, sedangkan untuk anak perempuannya dia nafkahi hingga menikah.
Seandainya sepasang suami istri bercerai, maka anak mereka tetap menjadi tanggungan sang ayah, bahkan walaupun anak tersebut dibawa oleh sang ibu. Aturan ini yang jarang dipahami oleh para ayah sehingga menyebabkan banyak anak terlantar saat orang tua mereka bercerai. Ibunya menjadi janda lantas kesulitan mencari pekerjaan, sedangkan ayahnya tidak mau menafkahinya.
Perlu dipahami bahwasanya hak pengasuhan tidak ada hubungannya dengan hak menafkahi. Walaupun anaknya memilih diasuh oleh ibunya, yang wajib menafkahinya tetap ayah kandungnya, bukan ibu yang mengasuhnya apalagi ayah tirinya. Sama halnya dengan nasab anak tersebut, tetap dinisbatkan kepada ayah kandungnya, walaupun ibunya bercerai dengan ayahnya dan dia memilih ikut ibunya.
Ketika ayah kandungnya meninggal maka yang berkewajiban menafkahi anak-anak tersebut tetap juga bukan ibunya, melainkan kerabat ayahnya yang mampu dari ahli warisnya dari kalangan laki-laki, seperti kakek, paman atau saudara kandung ayah. Ahli waris dari kerabat ayah saling musyawarah akan hal ini. Oleh karena itu, yang paling berhak menjadi wali bagi seorang wanita yang hendak menikah, kalau tidak ada ayah maka kerabat laki-laki dari jalur ayah.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)