Imam Meringankan Shalat jika Ada Mashalat, Jangan Sampai Makmum Lari
Ketika seseorang menjadi imam dan para makmum dibalakangnya ada yang lemah, sakit atau orang yang sudah tua. Tentu tidak bijak, jika seorang menjadi imam kemudian memanjangkan bacaannya, ruku’ dan sujudnya, padahal diketahui olehnya di antara makmum ada orang lemah, sakit dan orang tua. Bacaan yang panjang akan membuat mereka tidak mampu mengikuti shalat, merasa semakin lemah dan sakit serta tidak konsentrasi bahkan tidak mampu mengikuti shalat berjamaah sampai akhir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّـﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻠﻨَّـﺎﺱِ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻔِّﻒْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴْﻒَ ﻭَﺍﻟﺴَّﻘِﻴْﻢَ ﻭَﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﻄَﻮِّﻝْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika dia shalat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. [1]
Di riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingin memanjangkan shalat, tetapi beliau mengurung niatnya karena mendengar tangisan bayi dan membuatnya jadi singkat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺩْﺧُﻞُ ﻓِﻲ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺃُﺭِﻳْﺪُ ﺃَﻥْ ﺃُﻃِﻴْﻠَﻬَﺎ ﻓَﺄَﺳْﻤَﻊُ ﺑُﻜَﺎﺀَ ﺍﻟﺼَّﺒِﻲِّ ﻓَﺄَﺗَﺠَﻮَّﺯُ
“Aku masuk (memulai) shalat, dan ingin memperpanjangnya. Lalu aku mendengar tangis bayi, maka aku mempersingkat.[2]
Catatan penting:
1) Mempersingkat dan meringankan shalat adalah karena adanya mashalat, bukan karena semata-mata mengikuti kemauan makmum saja, yaitu makmum yang sehat dan tidak ada hajat sangat penting
Ibnu Rajab menjelaskan,
ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻨﻴﺔ ﺇﻃﺎﻟﺘﻬﺎ، ﻓﻠﻪ ﺗﺨﻔﻴﻔﻬﺎ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ
“Ini adalah dalil bahwa siapa yang ingin shalat dengan niat memanjangkan, boleh baginya meringankan karena suatu mashlahat.”[3]
Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga menjelaskan jika ada alasan (illat) yaitu berat (masyaqqah) bagi makmum boleh diringankan. Beliau berkata,
ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺬﻛﻮﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺍﻟﻼﺣﻘﺔ ﻟﻠﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻃﻮﻝ
“Pada hadits ini disebutkan alasannya (illat) yaitu rasa berat (masyaqqah) yang akan didapatkan oleh makmum jika dipanjangkan.”[4]
2) Hukum asal panjang shalat dan bacaan adalah mengikuti bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam baik panjangan dan pendeknya, kapan panjang dan kapan pendek
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan,
ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻏﺎﻟﺒﺎً ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻏﺎﻟﺒﺎً ، ﻭﻳﺰﻳﺪ ﻭﻳﻨﻘﺺ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ
“Selayaknya imam melakukan sebagaimana umumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Mengurangi (meringankan) karena ada mashlahat dan menambah (memanjangkan) karena ada mashalat juga.”[5]
3) Makmum yang sehat dan tidak punya hajat penting tidak boleh menggeluh jika Imam memanjangkan shalat sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Renungkanlah, waktu untuk menyembah Rabb-nya mengapa ia pelit sekali dan mengeluh?
Ibnu Hajar menjelaskan,
ﻣﻦ ﺳﻠﻚ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻹﻳﺠﺎﺯ ﻭﺍﻹﺗﻤﺎﻡ ﻻ ﻳُﺸﺘﻜﻰ ﻣﻨﻪ ﺗﻄﻮﻳﻞ
“Siapapun yang menempuh jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meringkas dan menyempurnakan, maka tidak boleh dikeluhkan karena panjang shalatnya.”[6]
4) Imam juga hendaknya memperhatikan para makmum yang punya kebutuhan mendesak. Misalnya menjadi imam di masjid rumah sakit, yang pegawainya harus segera menjaga orang sakit
Perhatikan riwayat mengenai sahabat Jabir berikut,
ﺻَﻠَّﻰ ﻣُﻌَﺎﺫُ ﺑْﻦُ ﺟَﺒَﻞٍ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻯُّ ﻷَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀَ ﻓَﻄَﻮَّﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻓَﺎﻧْﺼَﺮَﻑَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻨَّﺎ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻓَﺄُﺧْﺒِﺮَ ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻣُﻨَﺎﻓِﻖٌ . ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺑَﻠَﻎَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﺄَﺧْﺒَﺮَﻩُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – « ﺃَﺗُﺮِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻓَﺘَّﺎﻧًﺎ ﻳَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫُ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻣَﻤْﺖَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻓَﺎﻗْﺮَﺃْ ﺑِﺎﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻭَﺿُﺤَﺎﻫَﺎ . ﻭَﺳَﺒِّﺢِ ﺍﺳْﻢَ ﺭَﺑِّﻚَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ . ﻭَﺍﻗْﺮَﺃْ ﺑِﺎﺳْﻢِ ﺭَﺑِّﻚَ . ﻭَﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺇِﺫَﺍ ﻳَﻐْﺸَﻰ
“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.”[7]
Hendaknya kita sebagai makmu dan hamba SANGAT PELIT WAKTU untuk Rabb yang telah memberikan segalanya. Berusaha khusyu’ shalat dan mempelajari bahasa Arab agar shalat semakin indah dan nikmat.
@Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari dan Muslim
[2] HR. Muslim
[3] Fathul Bari libni Rajab 4/222
[4] Lihat Ihkamul Ihkam, Darul Khail
[5] Lihat Tauhidil Ahkam hal.253, Syaikh Al-Bassaam
[6] Idem
[7] HR. Muslim