AdabAqidahBimbingan Islam

Kok Tidak Merasa Tenang Di Majelis Ilmu?

Tidak diragukan lagi bahwa majelis ilmu adalah sumber ketenangan jiwa, telas dibahas dalam artikel sebelumnya yaitu, Majelis Ilmu Mengalahkan Konser Musik  , akan tetapi kenapa majelis ilmu tidak ramai, orang-orang berlomba-lomba menghadirinya? Atau malah tidak tenang di majelis ilmu? Berikut tiga penyebab yang kami rasa paling sering menyebabkannya.

 

Pertama:

Tidak ikhlas dan ada tujuan dunia semata ke majelis ilmu

Yang seperti ini pasti tidak merasa ketenangan karena ilmu agama tidak akan masuk ke dalam hati yang rusak.

Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata,

طلبنا العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله

“Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”[1]

 

Apalagi terkadang kita menuntut ilmu untuk memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan dalam berbagai pertanyaan. Bahkan ingin menyaingi ilmu ustadz atau seniornya.

 

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”[2]

 

Ibnul Qayyim rahimahullah Berkata,

قَالَ بعض اهل الْعلم خير خِصَال الرجل السُّؤَال عَن الْعلم وَقيل إِذا جَلَست الى عَالم فسل تفقها لاتعنتا

“Berkata sebagian ahli ilmu merupakan kebaikan sifat seseorang adalah bertanya tentang ilmu. Telah dikatakan, Jika anda duduk bersama seorang ‘alim (ahli ilmu) maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan/ngeyel”[3]

 

Memang masalah niat adalah masalah yang cukup berat untuk diikhlaskan. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat  daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik[4]

 

Kedua:

Ustadz yang memberikan ceramah tidak kompeten

Tentu jika pemateri yang memberikan materi tidak cakap atau tidak ahli maka isi dan penyampaiannya akan tidak menarik dan membosankan. Kita ambil contoh ketika khutbah Jumat dimana terkadang yang menjadi khatib adalah ustadz karbitan, ustadz jadi-jadian, modal gelar professor atau doktor saja sudah berani berbicara banyak tentang agama padahal tidak kompeten. Maka jelas makmum jumatan akan mengantuk dan justru tidak merasakan ketenangan.

Inilah yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

إنكم اليوم في زمان كثير علماؤه قليل خطباؤه من ترك عشر ما يعرف فقد هوى، ويأتي من بعد زمان كثير خطباؤه قليل علماؤه من استمسك بعشر ما يعرف فقد نجا

”Sesungguhnya kamu pada hari ini berada pada zaman dimana banyak sekali ulamanya dan sedikit sekali khutobaa’nya, barang siapa yang meninggalkan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan agamanya) maka sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu. Dan akan datang nanti suatu zaman dimana banyak sekali khutobaa’nya [khutobaa’: khatib tanpa ilmu –pent] dan sedikit sekali ulamanya, barang siapa yang berpegang dengan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan agamanya), maka sesungguhnya ia telah selamat.”[5]

Berbeda jika yang memberikan ceramah kompeten dan berilmu yang luas, maka kita akan mendapatkan banyak faidah dan bisa menggetarkan dan menenangkan hati. Lihatlah apa yang disampaikan oleh Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,

كان عبد الرحمن لا يتحدث في مجلسه ولا يبرى قلم ولا يقوم أحد كأنما على رءوسهم الطير أو كأنهم في صلاة

“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat.[6]

 

Ketiga:

Tidak belajar agama secara ta’siliy [belajat dari dasar]

Menjadi fenomena juga bahwa ada yang belajar agama terkesan “semau gue”, mau datang kajian bisa, tidak datang juga tidak masalah, belajar agama juga tidak sistematis atau belajar secara ta’siliy [belajar dari dasar] sehingga belajar agama terkesan berat dan membosankan dan tentu bukan ketenangan yang didapat. Sebagaimana jika kita belajar ilmu dunia, misalnya kedokteran maka digunakan kurikulum dari dasar supaya lebih mudah, maka demikian juga ilmu agama.

Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata mengenai hal ini,

ألا يأخذ من كل كتاب نتفة، أو من كل فن قطعة ثم يترك؛ لأن هذا الذي يضر الطالب، ويقطع عليه الأيام بلا فائدة، فمثلاً بعض الطلاب يقرأ في النحو : في الأجرومية ومرة في متن قطر الندي، ومرة في الألفية. ..وكذلك في الفقه: مرة في زاد المستقنع، ومرة في عمدة الفقه، ومرة في المغني ، ومرة في شرح المهذب، وهكذا في كل كتاب، وهلم جرا ، هذا في الغالب لا يحصلُ علماً، ولو حصل علماً فإنه يحصل مسائل لا أصولاً

Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-sepotong kemudian meninggalkannya, karena ini membahayakan bagi penuntut ilmu dan menghabiskan waktunya tanpa faidah, misalnya sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu, ia belajar kitab Al-Jurumiyah sebentar kemudian berpindah ke Matan Qathrun nadyi kemudian berpindah ke Matan Al-Alfiyah..demikian juga ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar, kemudian Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-Muhazzab, dan seterusnya. Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu, seandainya ia memperoleh ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah dan dasar-dasar.”[7]

 

Dan masih ada penyebab yang lainnya seperti;

-suasana yang gaduh karena ibu-ibu membawa anak-anak mereka, ada yang menangis dan ribut.

-banyaknya yang berjualan di sekitar majelis ilmu sehingga terkadang menggangu

-tempatnya kurang nyaman dan terkadang berdesak-desakan

 

Demikian yang dapat kami susun, semoga bermanfaat.

 

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.

 

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

15 Rajab 1433 H, Bertepatan  5 Juni 2012

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

 

 

 


[1] Thabaqat Asy-Syafi’iyah 6/194, Darun Nasry, cet.II, 1413 H, Syamilah

[2] HR. At-Tirmidzy 5/32 no.2654, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani

[3] Miftah Daris Sa’adah 1/168, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Syamilah

[4] Jami’ Al-‘ulum wal hikam hal. 18, Darul Aqidah, Koiro, cet.I, 1422 H

[5] HR. Ahmad dalam Musnadnya (5/155). Silsilah ash-Shahiihah karya Syaikh al-Albani (no 2510).

[6] Tadzkiratul Hufadz 1/242, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.I, 1419 H, syamilah

[7] Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 39, Darul Itqaan, Iskandariyah

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button