Maksud dari “Tamu” yang Dimuliakan dan Dijamu
Islam adalah agama yang mulia dan sempurna. Salah satu anjuran dalam Islam adalah agar memuliakan tamu, bahkan dalam hadits digandengkan dengan iman kepada Allah dan hari Akhir.[1] Demikian juga contoh dari Nabi Ibrahim yang ketika kedatangan tamu, beliau menjamu dengan segera menyembelih sapi yang paling gemuk untuk disuguhkan kepada tamunya.[2] Bahkan kita bisa membatalkan puasa sunnah kita untuk menghormati tamu agar bisa makan bersama kita.[3]
Akan tetapi perlu diketahui bahwa “tamu” dalam pengertian bahasa Indonesia, berbeda dengan “tamu” dalam pengertian syariat. Tamu dalam pengertian bahasa Indonesia adalah siapapun yang datang ke rumah kita yaitu datang bertamu. Sedangkan dalam syariat:
1. ”Dhaif/Tamu” dalam pengertian syariat yang wajib dimuliakan, yaitu mereka para musafir yang datang dari luar kota/negeri yang datang ke rumah kita
2. “Zaa-ir” (peziarah) yaitu yang datang ke rumah kita tetapi masih satu kota/kampung dengan kita. “Zaa-ir” Ini juga kita dimuliakan dengan dalil umum berbuat baik sesama manusia, tetapi “dhaif/tamu” pada poin pertama hukumnya wajib dimuliakan dan lebih ditekankan.
Pengertian tamu pada poin pertama sebagaimana dijelaskan oleh ulama, yaitu mereka yang sedang musafir atau sedang melewati kota/kampung kita.
Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan,
الذي مرَّ بك وهو مسافر ، وأما المقيم : فإنه ليس له حق ضيافة ، ولو كان المقيم له حق الضيافة : لكان ما أكثر المقيمين الذين يقرعون الأبواب
“(Tamu adalah) orang yang melalui daerah-mu, yaitu musafir. Adapun orang yang mukim, tidak tidak mendapatkan hak tamu (wajib dimuliakan dan mendapatkan penekanan). Seandainya orang mukim mempunyai hak tamu, maka akan banyak orang mukim yang mengetuk pintu-pintu rumah (agar dijamu dan mendapat makanan).”[4]
Inilah tamu yang dimaksud, mereka wajib dimuliakan. Jika bertamu di rumah kita maka diberi tempat kamar menginap yang baik, diberikan suguhan makanan terbaik dan diberikan pelayanan terbaik karena ini adalah anjuran agama. Ini bisa dilakukan selama tiga hari.
Dalam hadits,
َالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ ، وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ، وَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ ؟ قَالَ : يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَ لَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيْهِ بِهِ.
“Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal perjalanan) untuk sehari semalam. Tidak halal bagi seorang muslim menetap di rumah saudaranya kemudian membuatnya berdosa”. Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Bagaimana ia membuatnya berdosa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: “Ia (tamu tersebut) menetap padanya, namun tuan rumah tidak mempunyai sesuatu untuk memuliakannya”.[5]
Hendaknya juga tamu menjaga adab sebagai tamu dan “tahu diri” serta tidak menyulitkan tuan rumah secara berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… وَ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ.
“… Tidak halal seorang bertamu hingga menyulitkan tuan rumah.”[6]
Demikian semoga bermanfaat
@Markas YPIA, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Yaitu hadits,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
[2] Allah berfirman berfirman,
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
[3] Boleh membatalkan puasa sunnah jika ada kebutuhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani)
[4] Syarhul Mumti’ 15/48-51
[5] HR. Muslim
[6] HR. Bukhari dan Muslim