Mengapa Islam Memerintahkan Istri Menghormati Suaminya?
[Rubrik: Sekedar Sharing]
Terdapat ungkapan Arab yang berbunyi,
الرَّجُلُ وَرَقَةٌ كُتِبَ عَلَيْهَا أَرْجُو الْاِحْتِرَامَ وَالْمَرْأَةُ وَرَقَةٌ كُتِبَ عَلَيْهَا أَرْجُو الْاِهْتِمَامَ
Laki-laki bagaikan kertas yang di atasnya tertulis “Aku butuh penghormatan” sedangkan wanita bagaikan kertas yang di atasnya tertulis “Aku butuh perhatian”.
Sungguh benar makna ungkapan tersebut, seorang laki-laki butuh untuk dihormati karena statusnya di dalam keluarga sebagai pemimpin. Allah berfirman menegaskan status laki-laki,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa : 34)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Hadits ini menunjukkan status seorang suami dalam rumah tangga dan beratnya tanggung jawab yang diembannya. Setiap suami di hari kiamat kelak akan ditanyai tentang kepemimpinannya di tengah keluarganya. Jika istrinya berbuat dosa maka dia akan ditanyai mengapa istrinya bisa sampai berbuat dosa.
Oleh karena itu, sebagai wanita yang dipimpin, dia harus menghormati kedudukan suaminya. Seperti dalam hal menjalankan puasa sunnah, seorang wanita harus minta izin kepada suaminya jika ingin berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Seorang wanita juga harus meminta izin kepada suaminya jika ada keperluan yang mengharuskannya ke luar rumah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha saat sakit di peristiwa haditsul ‘ifk dan ingin ke rumah orang tuanya, beliau tetap meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَتَأْذَنُ لِيْ أَنْ آتِيَ أَبَوَيَّ
“Apakah engkau mengizinkan aku untuk menemui orang tuaku?” (HR Bukhari no. 4141 dan Muslim no. 2770)
Bahkan jika ingin ke masjid, wanita harus minta izin terlebih dahulu kepada suaminya, apalagi jika ke mall, ke kantor, dan sebagainya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri-istri kalian minta izin ke masjid di waktu malam, maka berilah mereka izin.” (HR. Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)
Hadits-hadits di atas mengisyaratkan tujuan pokok dibalik kewajiban seorang wanita meminta izin suaminya yaitu untuk menunjukkan penghormatan kepada suaminya karena kedudukannya sebagai pemimpin.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)