Meninggal Dengan Senyuman Berarti Husnul Khatimah?
[Rubrik: Faidah Ringkas]
Sakaratul maut adalah hal yang ghaib, sejatinya ia adalah proses yang menegangkan sekaligus menyakitkan. Tentang sakaratul maut telah dikabarkan oleh Allah dalam firman-Nya,
وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (QS Qaaf: 19)
Husnul khatimah atau akhir kehidupan yang baik adalah keadaan seorang mukmin ketika dia akan menghadapi kematiannya, seperti beramal shalih sebelum meninggal. Hal yang harus dipahami, seseorang yang meninggal apakah husnul khatimah ataukah tidak, tidak bisa disimpulkan dari cara dia meninggal.
Mati tersenyum, tertawa, jasad harum, dan semisalnya bukanlah tanda mutlak seseorang husnul khatimah karena tidak ada dalil yang menegaskannya. Sebagaimana mati tiba-tiba, menangis, atau berkeringat bukan tanda seseorang mesti suul khatimah. Bahkan Nabi menyebutkan salah satu ciri husnul khatimah adalah mati dalam keadaan berkeringat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَوْتُ المُؤْمِنِ بِعِرْقِ الجَبِيْن
“Kematian seorang mukmin dengan keringat di kening.” (HR. Tirmidzi, no. 982)
Perkara sakaratul maut adalah rahasia Allah. Ada yang terlihat dimudahkan dan prosesnya singkat, ada pula yang terlihat berat dan prosesnya lama. Hal itu tidak mutlak menjadi pertanda dia husnul atau suul khatimah, apalagi meyakini sebagai pertanda surga atau neraka seseorang. Surga atau neraka seseorang ditentukan oleh amalannya di dunia.
Tidak ada yang meragukan bahwa Nabi meninggal husnul khatimah. Bersamaan dengan itu, beliau menjalani keadaan yang begitu memberatkan ketika sakaratul maut. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام واكرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ اليَوْمِ
“Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata, “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini.” (HR Bukhari, no. 4446)
Demikian pula ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,
مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak iri kepada siapapun yang mudah saat proses kematiannya, setelah aku melihat kepedihan dalam kematian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Tirmidzi, no. 979)
Kepedihan yang dialami oleh para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih di penghujung hidupnya bukanlah sebuah aib ataupun siksaan, melainkan justru untuk meningkatkan derajat mereka di sisi Allah, serta memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal.
Artikel www.muslimafiyah.com
Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.
(Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)