Menolak Berobat Dengan Kedokteran Modern, Lebih Memilih Thibbun Nabawi
Tidak diragukan lagi bahwa thibbun nabawi adalah salah atu pengobatan yang terbaik. Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,
طب النبي صلى الله عليه وسلم متيقن البرء لصدوره عن الوحي وطب غيره أكثره حدس أو تجربة
“Pengobatan ala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini mendatangkan kesembuhan karena bersumber dari wahyu, sedangkan pengobatan yang lainnya, kebanyakan berdasarkan praduga dan eksperimen.” (Fathul Baari 10/170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah)
Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa thibbun nabawi adalah metode penngabatan yang orang yang melaksanakannya harus bisa mendiagnosis penyakit (ia harus mengalami proses belajar dengan menemukan berbagai kasus), mengetahui dosis, takaran, indikasi, campuran bahan (misalnya madu dan habbatus sauda). Dan juga perlu memiliki kekuatan keimanan dan tawakkal yang cukup karena hakikatnya thibbun nabawi adalah pedang yang tajam. Akan tetapi jika yang memang pedang tersebut tidak cakap, maka ketajaman tersebut sia-sia. Hal ini sudah kami bahas dalam tulisan:
Dalam kasus nyata didapatkan kasus seperti pertanyaan berikut ini.
Pertanyaan:
أنتم تقولون حفظكم الله بوجود نوعين من العلاج وذكرتم قصة من سئل من بعض الصحابة عن العلاج بالرقية الشرعية ، وبإذن من الله وأمره ينفع هذا العلاج وقد لا ينفع، وربما تحدث مرات بنجاحه وأخرى لا تحدث، يقول نحن نعاني كثيراً يا شيخنا من مرضى يختارون هذا النوع الطيب من العلاج ويرفضون العلاج الذي نزودهم به فهل يجوز لهم هذا
“Kalian –hafidzakumullah- Mengatakan ada dua jenis pengobatan, sebagaimana yang kalian sebutkan dalam kisah sebagian sahabat berupa pengobatan dengan Ruqyah Syar’iyyah. Dengan izin Allah pengobatan ini memberi manfaat dan terkadang tidak, Terkadang berhasil dan terkadang tidak. Ia (orang yang menolak) berkata: “kami sering terkena banyak penyakit, kami memilih metode pengobatan yang baik ini (ruqyah Syar’iyyah)” mereka menolak metode pengobatan (kedokteran modern) yang kami berikan. Apakah boleh bagi mereka seperti ini?
أرى أن يجمع الإنسان بين هذا وهذا ولا منافاة بأن يجمع بين الرقية الشرعية وكذلك الأدوية الحسية ولا مانع، ولكن هل تناول الدواء واجب على المريض أو غير واجب ؟ هنا السؤال، أصح الأقوال للعلماء أنه ليس بواجب وأن للإنسان أن يمتنع من المعالجة ولا يعد قاتلاً لنفسه لأنه ليس الذي أحدث المرض بنفسه ثم إنه قد يعالج ولا ينجح كما هو مشاهد وقد يبرأ بدون معالجة ، فالصواب أن المعالجة ليست واجبة إلا فيما علمنا الضرورة إليه كما لو كان المرض في عضو من الأعضاء وقرر الأطباء أن يقطع وأنه إن لم يقطع سرى إلى جميع البدن، فهنا نعم نقول للمريض يجب عليك أن تمكّن الأطباء من قطع هذا العضو كما فعل الخضر حين خرق السفينة فقال له موسى ( أخرقتها لتغرق أهلها ) فبين له أن أمامهم ملك يأخذ السفن الصالحة غصباً وأنه خرقها من أجل أن تسلم من ظلم هذا الملك.
jawaban:
Saya berpendapat sebaiknya manusia mengkombinasikan antara ini (ruqyah syar’iyyah) dengan itu (kedokteran modern). Tidak ada pertentangan antara ruqyah syar’iyyah dengan pengobatan fisik (obat yang diminum). Akan tetapi apakah meminum obat hukumnya wajib atas orang yang sakit atau tidak?
Pendapat ulama yang lebih shahih adalah tidak wajib, boleh bagi manusia menolak berobat dan ini tidak termasuk bunuh diri, karena tidak menimbulkan penyakit (baru) bagi dirinya. Kemudian alasan yang lain bahwa pengobatan terkadang tidak berhasil sebagaimana kita saksikan dan terkadang bisa sembuh tanpa pengobatan.
Maka yang benar bahwa berobat tidak wajib keculai jika diketahui tidak berobat akan berbahaya bagi dirinya. Misalnya ada penyakit di anggota tubuhnya,kemudian dokter menyatakan bawah bagian itu harus dipotong, jika tidak akan merambat ke anggota yang lain. Maka dalam kondisi ini kita katakan, ia wajib berobat dan mengikuti saran dokter agar memotong anggota tersebut. Dalilnya sebagaimana perbuatan Khidir ketika melubangi perahu, maka Nabi Musa berkata,
“Apakah engkau akan menenggelamkan penumpang perahu ?”
Maka Khidir menjelaskan bahwa di depan mereka ada raja yang suka merampas perahu yang masih baik, ia melobanginya agar selamat dari kedzaliman raja tersebut.
(Al-Irysad Ila Tahabibil Muslim hal. 14, Syaikh Al-‘Utsaimin, Syamilah)
Demikianlah kita bisa mengambil hikmah dari penjelasan ulama dan lebih bijaksana dalam mengambil sikap.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
@Perum PTSC Cileungsi Bogor
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan follow twitter