Bimbingan IslamFatwa KedokteranFiqhKesehatan Islam

Mengenal  Lebih Dekat Metode Thibbun Nabawi

 

Pengertian thibbun nabawi[1]

Ada beberapa pengertian mengenai thibbun nabawi yang didefinisikan oleh ulama di antaranya,

الطب النبوي هو هو كل ما ذكر في القرآن والأحاديث النبوية الصحيحة فيما يتعلق بالطب سواء كان وقاية أم علاجا

1.Thibbun nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.

الطب النبوي هو مجموع ما ثبت في هدي رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم في الطب الذي تطبب به ووصفه لغيره.

2.Thibbun nabawi adalah kumpulan apa shahih dari petunjuk Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kedokteran yang yang beliau berobat dengannya atau untuk mengobati orang lain.

تعريف الطب النبوي: هو طب رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي نطق به ، واقره ، او عمل به وهو طب يقيني وليس طب ظني ، يعالج الجسد والروح والحس.

  1. Definisi thibbun nabawi adalah (metode) pengobatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ucapkan, beliau tetapkan (akui) beliau amalkan, merupakan pengobatan yang pasti bukan sangkaan, bisa mengobati penyakit jasad, ruh dan indera.

-Misalnya yang beliau ucapkan tentang keutamaan habatus sauda,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” (Muttafaqun ‘alaihi)

-Misalnya yang beliau tetapkan (akui)

yaitu kisah sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang terkena gigitan racun kalajengking dengan hanya membaca Al-Fatihah saja. Maka orang tersebut langsung sembuh. Sebagaimana dalam hadits

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para  sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyahkarena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. pembesar tersebutpun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah? Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.[2]

-misalnya yang beliau amalkan

beliau melakukan hijamah serta menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan hijamah.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأمرني فأعطيت الحجام أجره

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan menyuruhku untuk memberikan upah kepada ahli bekamnya.”[3]

Salah paham mengenai thibbun nabawi

Sebagian orang salah paham dengan thibbun nabawi. Ada yang sekedar minum habbatus sauda dan minum madu tanpa takaran yang jelas, ia sangka sudah menerapkan thibbun nabawi. Padahal seperti yang sudah dijelaskan bahwa thibun nabawi merupakan suatu metode yang kompleks. Begitu juga dengan sebagian kecil pelaku herbal yang hanya dengan menambahkan madu atau habbatus sauda dalam ramuannya, maka ia klaim bahwa ramuannya adalah thibbun nabawi.

Perlu kita ketahui bahwa konsep thibbun nabawi adalah konsep kedokteran yang kompleks sebagaimana kedokteran yang lain. Dalam thibbun nabawi perlu juga kemampuan mendiagnosa penyakit, meramu bahan dan kadarnya, mengetahui dosis obat dan lain-lain

Managemen terapi harus sesuai dosis dan indikasi

Demikian juga dengan obat yang digunakan, haruslah seorang dokter atau herbalis tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya,

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

 

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[4]

Demikian jugalah yang ditetapkan oleh agama Islam yang mulia ini. Praktek kedokteran harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

 

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[5]

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

 

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[6]

 

Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,

فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة

 

“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya[7]

 

 

Ada yang tidak sembuh dengan thibbun nabawi

Mengapa bisa tidak sembuh? Padahal jelas thibbun nabawi bahwa obat bagi segala macam penyakit, penyembuh bagi manusia. Maka jawabannya cukup panjang jika dijabarkan, namum di sini kita bahas beberapa aspek saja. semoga di lain kesempatan kita bisa membahasnya dengan panjang lebar.

 

Salah satu penyebab tidak sembuh adalah kurang tepat dalam:

-mendiagnosa penyakit

-memilih obat

-menggunakan dosis obat

-menghindari berbagai pantangan yang dapat menghambat kerja atau berkebalikan kerjanya dengan obat

 

Sehingga walaupun sudah pasti habbatus sauda adalah obat bagi segala macam penyakit dan madu adalah penyembuh bagi manusia (syifaa’un linnaas), akan tetapi ini masih bahannya saja, perlu kemampuan lagi untuk tepat dalam mendignosis penyakit, memilih obat, menggunakan dosis obat, meraciknya dan mengkombinasi dengan obat yang lainnya. Sehingga untuk lebih efektif pengobatannya lebih baik berkonsultasi kepada ahlinya atau tabib.

 

Begitu juga dengan Al-Quran yang diturunkan sebagai penyembuh baik penyakit hati dan badan, kita bisa contoh dalam hadits sahabat Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu membacakan ruqyah Al-Fatihah kepada kepala suku yang tersengat kalajengking dan atas izin Allah Ta’ala sembuh. Lalu ada yang pernah mencoba dengan pasien yang sakit demam ringan tetapi qaddarullah tidak sembuh. Maka bukan Al-Qurannya yang salah tetapi manusianya yang kurang Iman dan tawakkalnya. Ibaratnya thibbun nabawi adalah sebuah pedang yang pasti tajam, akan tetapi pedang tajam tersebut berguna dengan tepat jika dipegang oleh ahlinya.

 

Di zaman ini di mana sangat sulit kita mendapatkan orang seperti sahabat Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, maka tidak menutup kemungkinan pengobatan lain juga bisa digunakan seperti kedokteran barat modern dan pengobatannya juga bisa dikombinasikan dan berjalan bersamaan.

Thibbun Nabawi Ibarat Pedang yang Sangat Tajam

Sudah pasti benar karena berdasarkan wahyu. Hanya saja pedang juga tergantung yang memegang pedang, ada yang mahir, ada yang pemula bahkan ada yang angkat pedang saja kurang kuat. Sehingga kalau tidak sembuh dengan thibbun nabawi berarti bukan thibbun nabawi yang salah.

Kenapa tidak sembuh? Bisa jadi :

1.Praktisi thibbun nabawi yang kurang kompeten

2.Proses dan tahap pengobatannya yang kurang tepat

3.Thibbun Nabawi juga terkait dengan unsur keimanan

Misalnya:

-Hadits sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang tersengat racun kalajengking, orangnya langsung sembuh dan sehat (tidak perlu penawar racun)

Akan tetapi, ada yang meruqyah orang lain tetapi tidak sembuh-sembuh

-Dalam hadits dijelaskan bahwa habbatus sauda adalah obat segala macam penyakit kecuali kematian

Akan tetapi, ada yang sakit demam tinggi kemudian minum habbatus sauda, tetapi demam tidak turun-turun malah tambah tinggi (kisah ini nyata, insyaAllah)

-Dalam hadits dijelaskan bahwa sebaik-baik pengobatan adalah bekam (ini juga perlu penjelasan ulama, apakah ini shigah mubalaghah dalam bahasa Arab saja, tidak diterjemahkan leterleg, sebagaimana hadits ‘sebaik-baik lauk adalah cuka’, apakah lauk terbaik adalah cuka?)

Ada yang ketika kena sakit gagal ginjal kronik sadium akhir, tidak mau terapi cuci darah, hanya mau bekam saja, tetapi ternyata tidak kunjung sembuh dan bahkan tambah parah. Akhirnya dengan penjelasan yang baik, dia mau cuci darah dan iapun mengakui bahwa jauh lebih baik setelah cuci darah. Dan iapun mengkombinasikannya sekarang (kisah ini nyata, insyaAllah)

Karenanya istilah Thibbun (طب) adalah pengobatan, yang namanya pengobatan itu:

-Butuh kemampuan mendiagnosa jenis penyakit

karena penyakit bermacam-macam, tidak bisa dikatakan:

“ada penyakit di lambungnya pak”

karena lambung bisa karena tukak/luka, infeksi bateri, penyakit psikologis dll

-Butuh kemampuan meracik bahan thibbun nabawi, menentukan dosis dan indikasinya

Karena bahan-bahan thibbun nabawi dalam Al-Quran dan Hadits SANGAT GENERAL sekali. Hanya disebutkan bahannya saja

Seorang dokter, herbalis, praktisi thibbun nabawi harus tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya.

Logikanya: apabila ada info buah merah bisa menjadi obat AIDS, maka tentu kita bertanya-tanya bagaimana cara meraciknya, dosis, indikasi dan cara minumnya

Dari mana tahu dosis dan indikasinya? Dari penelitian para thabib/dokter dan pengalaman mereka. Atau di zaman modern ini bisa diteliti dengan penelitian ilmiah mengenai dosis dan indikasinya.

Kami sangat berharap semoga Thibbun nabawi ada yang bisa mengembangkannya, melakukan penelitian dengan membuka buku-buku para ulama, meneliti ke pengobatan thabib sehingga jelas thbbun nabawi bisa diterapkan sesuai dengan prinsip “thibb” yaitu pengobatan. Bahkan thibbun nabawi diakui oleh dunia internasional, ada ilmuan muslim yang melakukan penelitian ilmiah dan menerbitkan jurnal internasional mengenai thibbun nabawi

Amin yaa mujibas saailiin

 

Rasulullah Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam tidak diutus menjadi ahli pengobatan

Bisa kita lihat dalam kisah hadist berikut,

 

“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kalidah) mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Dawud no.2072)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.

 

Jadi pengobatan yang diberi petunjuk oleh Islam dalam thibbun nabawi bukan satu-satunya cara untuk berikhtiar mencapai kesembuhan, metode pengobatan lainnya juga bisa digunakan untuk mencapai kesembuhan atas izin Allah Ta’ala. Terlebih lagi jika pengobatan sudah teruji dan terbukti melalui penelitian dan eksperimen, artinya lebih banyak yang sembuh menggunakannya dari pada yang tidak sembuh. Pengobatan lainnya seperti kedokteran cina, kedokteran Yunani dan termasuk kedokteran barat modern saat ini.

 

 

 

CONTOH PENERAPAN YANG PERLU KITA PERBAIKI BERSAMA

1.Apakah Rumput Fatimah (herbal tradisional Arab)  bukan Thibbun Nabawi

Mungkin kita pernah mendengar “rumput fatimah”? ya, ini cukup terkenal di beberapa kalangan. Ketika umrah atau naik haji, tidak sedikit wanita yang sedang hamil minta dibawakan oleh-oleh rumput fatimah. Katanya bisa membantu mempermudah persalinan. Benarkah hal ini? Bagaimana secara medis?

Tidak ada satupun hadits shahih mengenai rumput fatimah ataupun keutamaannya. Masarakat awam banyak salah paham, hanya karena di namakan dengan “Fatimah” kemudian banyak ditawarkan kepada jama’ah haji dan umrah. Bahkan dijadikan oleh-oleh, maka banyak yang menganggap rumput fatimah adalah thibbun nabawi atau ada keutamaannnya dalam Islam sebagaimana kurma dan air zam-zam. Oleh karenanya kita sebaiknya berhati-hati dengan segala sesuatu yang dinisbatkan dengan thibbun nabawi, bisa jadi ini merupakan jalan “pelaris dagangan” saja.

Oleh karena kita perlu tahu Pengertian thibbun nabawi[8]

Ada beberapa pengertian mengenai thibbun nabawi yang didefinisikan oleh ulama di antaranya,

الطب النبوي هو هو كل ما ذكر في القرآن والأحاديث النبوية الصحيحة فيما يتعلق بالطب سواء كان وقاية أم علاجا

Thibbun nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.

Pendangan secara medis

Setahu kami belum ada penelitian yang valid mengenai rumput fatimah (nama lainnya Labisia pumila). Tetapi ada beberap sumber yang menyatakan bahwa ternyata rumput Fatimah mengandung hormon oksitoksin yang bisa merangsang kontraksi rahim.

Tentu ini akan berbahaya jika diminum berlebihan tanpa dosis yang jelas dan arahan dari ahli herbal yang berpengalaman. Beberapa sumbe menyatakan, sebaiknay diminum ketika proses melahirkan, pada pembukaan kelahiran.

Yang salah paham adalah wanita hamil meminumnya dengan tanpa dosis yang jelas dan ketika belum saatnya melahirkan, akibatnya rahim akan kontraksi dan terkadang bisa mengugurkan kandungan. Ini sudah cukup banyak kami temui kasus seperti ini.

Untuk lebih amannya, sebaiknya dikonsultasikan dengan ahli herbal yang sudah berpengalaman. Dan yang paling penting adalah jangan sampai kita beranggapan bahwa ini adalah ajaran atau bagian dari Islam dan menganggapanya thibbun nabawi atau bahkan menganggapnya memiliki barakah.

firman Allah ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)

 

2.Mengabati demam dengan air

Dari nafi’, dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن نافع، عن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إنما الحمى أو شدة من فيح جهنم، فأبردوها بالماء»

Sesungguhnya demam atau demam yang sangat adalah sebagian dari aroma neraka jahannam; maka dinginkanlah ia dengan air”. [mutafaqun alaihi]

Dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

وقد أشكل هذا الحديث على كثير من جهلة الأطباء، ورأوه منافيا لدواء الحمى وعلاجها، ونحن نبين بحول الله وقوته وجهه وفقهه، فنقول: «خطاب النبي صلى الله عليه وسلم نوعان: عام لأهل الأرض، وخاص ببعضهم، فالأول «كعامة خطابه، والثاني: كقوله: «لا تستقبلوا القبلة بغائط» . ولا بول، ولا تسدبروها، ولكن شرقوا، أو غربوا» «2» ، فهذا ليس بخطاب لأهل المشرق والمغرب ولا العراق، ولكن لأهل المدينة وما على سمتها، كالشام وغيرها. وكذلك قوله: «ما بين المشرق والمغرب قبلة» » .وإذا عرف هذا، فخطابه في هذا الحديث خاص بأهل الحجاز، وما والاهم، إذ كان أكثر الحميات التي تعرض لهم من نوع الحمى اليومية العرضية الحادثة عن شدة حرارة الشمس وهذه ينفعها الماء البارد شربا واغتسالا

“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit demam dan pencegahannya. Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan Allah- segi dan maknanya.

Maka kami katakan: Seruan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:

yang umum bagi penduduk bumi

dan yang khusus bagi sebagian mereka.

yang pertama misalnya seruan baliau pada umumnya.

Dan yang kedua seperti ucapan beliau:”Janganlah kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu membelakanginya; akan tetapi menghadaplahh ke timur atau ke barat”.Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang  lain. Juga ucapan baliau: “Apa yang ada diantara  timur dan barat adalah kiblat”.Apabila yang demikian diketahui, maka seruan beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari. Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin, baik minum atau pun mandi.[9]

 

Ringkasnya penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa perintah tersebut khusus untuk penduduk Hijaz dan disekitar mereka karena umumnya penyebab demam di sana akibat sengatan matahari yang sangat panas.

catatan

dalam ilmu kedokteran mungkin kasus yang digambarkan dalam hadits adalah kasus sunburn atau luka bakar matahari yang sudah kita ketahui semua, gejala-gejalanya mengalami demam, panas-dingin, dan kelemahan dan bahkan pada saat yang langka bisa menjadi syok (ditandai dengan tekanan darah yang sangat rendah, pusing, dan sangat lemah).

Sedangkan untuk terapinya:

-Kompres air dingin bisa menyejukkan kulit yang terbakar

-pelembab kulit

-Salep atau lotion mengandung anestesi local (misalnya, benzocaine)

-Tablet kortikosteroid juga bisa membantu meringankan peradangan tetapi digunakan hanya untuk luka bakar yang sangat serius.

– Krim antibiotik untuk luka bakar khusus diperlukan hanya untuk lepuhan berat.

Oleh karenanya terapinya sejalan dengan kedokteran modern [Barat]. Kemudian jika demam adalah demam dengan suhu tinggi mungkin akibat penyakit kemudian diberikan air, bahkan ada yang bilang bila perlu dimandikan, maka ini bisa  berbahaya bagi pasien.

Demikian semoga bermanfaat

@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

[1] banyak mengambil faidah dari makalah berjudul “Thibbun Nabawi, ta’rifuhu, ushuluhu, mazayaahu...” sumber: http://www.masress.com/moheet/228986

[2] HR. Bukhari dan Muslim no

[3] Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, shahih

[4] Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah

[5] HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar

[6] Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H

[7] Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[8] banyak mengambil faidah dari makalah berjudul “Thibbun Nabawi, ta’rifuhu, ushuluhu, mazayaahu...” sumber: http://www.masress.com/moheet/228986

[9] Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy, Koiro, Tahqiq Dr. Hamid Muhammad Ath-Thohir

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button