Menyikapi Belum Adanya Sertifikasi Halal MUI pada Vaksin
Saudara se-Iman dan se-Islam yang semoga dirahmati dan disayangi Allah
Terkait dengan surat MUI kepada kemenkes tanggal 25 juli, poin dan esensi dari surat tersebut adalah:
“Tidak ada sertifikasi halal dari MUI” untuk vaksin MR dan meluruskan berita yang menyebar
“Tidak ada sertifikasi halal” BUKAN Artinya otomatis “HARAM”
Banyak juga yang belum ada sertifikasi halal untuk makanan, semisal makanan dan snack yang kita jumpai yang diimpor dari negara non-Muslim. Misalnya mie instan, roti, jajan, snack atau semisal permen yang pengawet, pemanis dan pengemulsinya yang dimpor dari negara non- muslim, yang belum ada sertifikat halalnya. Lalu apakah ini haram?
Akan tetapi kita juga harus menghormati hak konsumen yang ingin MEMASTIKAN agar lega, bahwa itu halal karenanya perlu ada sertifikat halal.
Kemenkes sudah berniat mengurus sertifikat halal tersebut, tetapi ini butuh proses dan tidak semudah yang dibayangkan, karena produsen Vaksin MR adalah dari India dan produsen lah yang mengajukan bahan tersebut.
Faktanya:
Vaksin MR tidak menggandung babi. jika ingin mengatakan haram, maka datangkan bukti bahwa itu haram, sebagaimana kaidah fikhiyah.
Kejadian ini mengingatkan dahulu pada vaksin meningitis yang sangat dituntut ada sertikat halal oleh oknum antivaks karena itu syarat haji (ibadah yang mulia) yang diwajibkan oleh pemerintah Arab saudi. Setelah keluar sertifikat halal MUI untuk meningitis, tetap saja mereka pokoknya “antivaksin”.
Vaksin MR telah digunakan oleh lebih dari 141 negara (termasuk negara Islam) dan sudah terbukti, aman serta efektif, bahkan beberapa negara di Eropa, timur tengah, australia program vaksin itu wajib (benar-benar wajib), jika tidak vaksin lengkap anak-anak tidak boleh sekolah. Vaksin MR juga telah mendapatkan surat izin dari Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM), artinya kalau berbahaya dan ada babinya tentu telah ada keterangannya.
Karenanya dalam surat tersebut MUI akan mengeluarkan sikap/kebijakan pada tanggal 8 agustus. MUI butuh waktu untuk berkomunikasi dengan kemenkes dan berkoordinasi. Kita hormati ulama kita di MUI dan tunggu bagaimana sikap mereka. Hendaknya kita tidak sibuk terlalu banyak berdebat yang bisa menimbulkan permusuhan.
Hendaknya tidak percaya dengan hoax-hoax yang menyebar tentang vaksin, semisal konspirasi Yahudi dan amerika, bisnis uang, vaksin menyebabkan mandul, vaksin hanya untuk umat Islam dan merusak umat dan lain-lainnya
Semoga bermanfaat
Salam
dr. Raehanul Bahraen
____________________
# Tidak Ada Sertifikasi Halal MUI = Haram ?
-Patut kita syukuri bahwa di negeri kita ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meneliti dan memberikan fatwa mengenai halal-haramnya makanan atau obat dan kita berterima kasih kepada MUI
-Akan tetapi timbul mindset yang kurang tepat, yaitu mempertanyakan dalil halal atau fatwa halal untuk makanan atau obat terlebih dahulu. Harus ada fatwa MUI dahulu baru jadi halal.
-Yang benar adalah, dalam masalah duniawi baik berupa makanan, obat-obatan dan masalah muamalah hukum asalnya halal, dan untukmenjadi haram perlu bertanya dan meminta bukti haramnya.
Kaidah mengatakan:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya“
-Jadi tidak ada sertifikat halal MUI belum tentu otomatis haram
-Fatwa MUI membantu kita untuk lebih yakin dan tenang untuk makanan tertentu
-Hanya saja sekali lagi perlu memperbaiki mindset, jika tidak ada fatwa halal maka otomatis haram (ini mindset yang kurang tepat)
BACA selengkapnya ا:
http://muslim.or.id/23082-tidak-ada-sertifikasi-halal-mui-haram.html
Penyusun: Raehanul Bahraen
_____________________
# Jawaban Bagi yang Berkata “Obat Dokter dan Vaksin Hukumnya Syubhat”
Jika beranggapan syubhat (karena ragu-ragu belum jelas halalnya) maka tidak bisa ia mengumumkan atau sebarkan bahwa hal itu syubhat, sehingga menjadi hukum umum bagi semua orang, karena bisa jadi bagi yang lain, jelas status dan hukumnya
Karenanya lanjutan hadistnya
لا يعلمهن كثير من الناس
“Tidak diketahui oleh orang banyak”,
‘banyak” di sini yaitu orang awam masalah agama, karena orang awam memang lebih banyak
Jika ulama atau ahlinya sudah menjelaskan maka sudah bukan syubhat lagi, apalagi sudah ada fatwa
Maaf saja saya lebih tenang dengan kaidah ulama dan penjelasan ulama, bukan berarti kita tidak peduli dengan haram-halal tetapi, tetapi karena hukum asalnya halal, maka untuk berpindah ke haram harus dengan hal yang pasti dan tidak bisa dengan “ragu-ragu” atau “jangan-jangan”
اليقين لا يزول بالشك
“Yang sudah yakin tidak bisa hilang dengan keragu-raguan”
Perhatikan kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi hadiah daging kambing oleh wanita Yahudi dan daging tersebut diberi racun.
Perhatikan yang memberi hadiah adalah wanita Yahudi. Memang sembelihan ahli kitab adalah halal. Tetapi jika telah NYATA dan ada bukti NYATA mereka:
1.Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka haram daging tersebut
2.menyembelih dengan cara yang tidak syar’i, maka haram daging tersebut
Tetapi jika tidak ada bukti dan hanya prasangka saja, maka tidak bisa menghilangkan hukum asalnya yaitu halal. Apalagi kita ketahui bagaimana sifat Yahudi. Tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerima saja hadiah daging hadiah dari Yahudi dan daging tesebut dimakan oleh beliau.
BACA Selengkapnya ا:
https://muslimafiyah.com/jawaban-bagi-yang-berkata-obat-dokter-dan-vaksin-hukumnya-syubhat.html
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen