Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Tidak Diutus Menjadi Ahli Pengobatan

Ada beberapa nas mengenai pengobatan dalam Islam, akan tetapi beliau bukanlah ahli pengobatan.
Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya menyebut bahan secara global saja, dan ini perlu pengalaman tabib terpercaya serta penelitian ilmiah untuk mengetahui dosis dan indikasinya agar menjadi obat.
Inilah tugas kita bersama di zaman ini untuk memajukan thibbun nabawi.
Selain itu, kedokteran dan penyembuhan dalam syariat erat kaitannya dengan “keimanan”, dan ini menjadi area “abu-abu” (belum pasti).
Maksudnya begini, kita mendengar hadits sahabat menyembuhkan racun sengatan kalajengking hanya dengan membaca Al-Fatihah dan langsung sembuh saat itu juga. Apakah semua orang bisa seperti ini?
Begitu juga hadits tentang makan kurma ajwah 7 butir di pagi hari, maka akan terhindar dari sihir dan racun.
Karena terkait “keimanan”, dan keimanan setiap orang berbeda-beda, bahkan bisa naik dan turun sebagaimana dalam hadits.
Inilah area “abu-abu” (belum pasti) tersebut. Keimanan adalah masalah gaib dan tidak bisa kita pukul rata, misalnya untuk sakit ini terapinya ini dan ruqyah itu.
Bisa saja tetap menggunakan doa dan ruqyah, bahkan ini yang utama. Akan tetapi, jika belum sembuh karena keimanan kita yang lemah (bukan salah doanya), maka perlu menempuh pengobatan lainnya.
Karenanya, ilmuwan dokter muslim di masa keemasan kedokteran Islam meneliti pengobatan dan obat yang secara hukum sebab-akibat kauniy (melalui penelitian), sehingga dengan ini bisa sembuh.
Misalnya Ar-Razi (Rhazes) yang ahli meracik obat-obatan dan mengembangkan berbagai metode kedokteran.
Sikap yang kurang tepat adalah memaksakan harus dengan thibbun nabawi dan anti pengobatan lainnya. Yang benar adalah bisa dikombinasikan dan sejalan.
Karenanya, Islam menerima berbagai pengobatan lainnya, seperti kedokteran Cina, kedokteran modern/Barat, herbal, dan sebagainya, asalkan tidak bertentangan dengan syariat.
Tugas kita bersama adalah mengembangkan thibbun nabawi:
- Meningkatkan keimanan kaum muslimin agar “daerah abu-abu” tadi bisa diminimalkan.
- Meneliti dan mengembangkan dosis dan indikasi serta metode hadits thibbun nabawi yang pernah diterapkan dahulunya dan berhasil, bukan informasi global sebagaimana saat ini.
Berikut hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bukanlah ahli pengobatan. Beliau hanya memberikan kurma dan memerintahkan agar segera ke tabib agar diracik menjadi obat.
Bisa kita lihat dalam kisah hadits berikut:
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkannya kepadamu.” [HR. Abu Dawud no.2072]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri, melainkan meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib.
Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja, sedangkan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi, dan indikasinya.
Jadi, pengobatan yang diberi petunjuk oleh Islam dalam thibbun nabawi bukan satu-satunya cara untuk berikhtiar mencapai kesembuhan. Metode pengobatan lainnya juga bisa digunakan untuk mencapai kesembuhan atas izin Allah Ta’ala.
Terlebih lagi jika pengobatan sudah teruji dan terbukti melalui penelitian dan eksperimen, artinya lebih banyak yang sembuh menggunakannya daripada yang tidak sembuh. Pengobatan lainnya seperti kedokteran Cina, kedokteran Yunani, dan termasuk kedokteran Barat modern saat ini.
Demikian, semoga bermanfaat.
@Laboratorium Klinik, RSUP DR Sardjito, Yogyakarta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel: www.muslimafiyah.com
Silakan like fanspage FB, follow Facebook, dan follow Twitter.
Tibbun nabawi derajatnya tidak sama, dia prioritas utama dibandingkan metode pengobatan lainnya. Tugas muslimin mempelajari dan mengembangkan tibbun nabawi bukan mempelajari lainnya dahulu. Setelah paham mendalam baru mempelajari ilmu pendukungnya. Jika mengandalkan telah uji klinis itu mengurangi tawakal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Judul sebaiknya menggunakan diksi yang lain semisal Nabi Muhammad shollalloohu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ilmu pendosisan kepada ahli pengobatan
maaf, penyataan anda “Tugas muslimin mempelajari dan mengembangkan tibbun nabawi bukan mempelajari lainnya dahulu” ini tidak tepat jika DIMUTLAKKAN, apakah tidak bisa dibarengkan?
silahkan anda baca: http://muslimafiyah.com/haruskah-kedokteran-modern-dan-thibbun-nabawi-dipertentangkan.html
mengenai judul, apakah salah?
barakallahu fikum semoga anda mendapatkan banyak kebaikan