Vaksinasi Haji Mubah dan bermanfaat
Beberapa orang yang akan naik haji atau melaksanakan umrah enggan dan tidak mau melakukan vaksinasi haji yaitu meningitis karena dianggap terbuat dari enzim babi. Bahkan semua vaksin ditolak misalnya vaksin influenza (padahal tidak semua vaksin -sebagiamana diberitakan- menggunakan zat enzim babi). Bahkan sebagian ada yang berbohong, sudah melakukan vaksin, padahal pemerintah saudi mewajibkan dan menjadi syarat utama haji yaitu sudah vaksin meningitis (mereka menyebutnya “tath’im”, yaitu suntik vaksinasi). Karena berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, wabah meningitis yang menyebar cepat dan menimbulkan banyak korban dalam waktu yang cepat pula.
Mengenai vaksinasi. Kami mempunyai buku khusus (semoga dimudahkan untuk diterbitkan) berjudul “vaksinasi mubah dan bermanfaat”. Kami jelaskan dan sertakan fatwa-fatwa para ulama dan ahli di bidangnya. Berikut sedikit petikan dari tulisan kami yang kami telah rangkum:
Hukum vaksinasi adalah mubah dan secara kedokteran setelah melalui penelitian sangat bermanfaat
Berita bahwa vaksin dibuat dari media-media yang berbahaya tidak benar. Apalagi ada pernyataan bahwa vaksin dibuat dengan media atau bahan ginjal kera, otak binatang dan nanah. Maka pernyataan ini tidak benar. Mungkin itu bersumber dari sumber-sumber yang sudah sangat lama sekali ketika awal-awal vaksin ditemukan dan dikembangkan atau sekedar sedang diujicoba pembuatannya. Tetapi di zaman sekarang pembuatan vaksin tidak demikian. sudah digunakan bahan yang aman. Jika memang ada bahan kimia tertentu, maka kadarnya sudah diperkirakan agar aman. Logikanya semua bahan kimia bisa berbahaya, akan tetapi jika kadarnya sangat sedikit dan sudah dipantau maka insyaAllah tidak berbahaya. Seperti pemanis buatan, pengawet dan pewarna buatan. Di zaman ini, kita yang hidup diperkotaan bisa dibilang hampir tiap hari memakan hal ini. Karena produk-produk yang dijual dan dikonsumsi sudah terdapat bahan-bahan ini.
Kemudian tidak perlu dipermasalahkan panjang lebar lagi mengenai status darurat dalam menggunakan vaksin yang haram. Misalnya wacana “vaksin itu daruratnya dimana? Orangnya kan sehat?”. Karena sudah ditemukan vaksin meningitis yang halal.
Bias dilihat pernyataan berikut,
“Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin yang halal menjadi tak berlaku lagi.”
”Titik kritis keharaman vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan dengan bahan yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7).[1]
Begitu juga dengan pernyataan resmi dari MUI:
Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M (Fatwa Terbaru MUI)
Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang
Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah
Menetapkan ketentuan hukum:
1. Vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
2. Vaksin Menveo meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
3. Vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
4. Ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah (kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak berlaku lagi.[2]
Satu lagi yang perlu dipahami bahwa pada vakisin meningitis yang masih menggunakan enzim babi sebagai katalisator. Maka yang namanya katalisator dalam ilmu biokimia adalah hanya berfungsi untuk mempercepat reaksi dan dia tidak bercampur dengan materi sehingga hasil akhir hari vaksin meningitis sudah bebas dari enzim babi.
Berikut penjelasan dari Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt., M., mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV).
“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal setelah diproses. Iskandar melanjutkan, dalam proses pembuatan vaksin, tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisahsel/protein) .Pada hasil akhirnya (vaksin), enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian, dan penyaringan.”[3]
Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan vaksin ini haram. Karena minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.
Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا
“Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung (mengkarantina) ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.”[4]
Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis karena makanannya kelak akan menjadi darah daging bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama.
Kami cantumkan juga fatwa dari dua ormas terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdathul Ulama
1. Fatwa dariTim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.
Jawaban:
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.[5]
2. Fatwa LBM-NU (Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama) Indonesia
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan menindak lanjuti hasil sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan.
Menurut Katib Aam Suriah PBNU, Malik Madani, keputusan tersebut merupakan kesimpulan di internal LBM-NU. Secara pasti, hasilnya akan segera dibahas di kalangan suriah. ‘Tunggu hasilnya bisa disetujui dan bisa tidak,’ ujar dia kepadaRepublika di Jakarta, Rabu (1/9)
Apapun hasilnya kelak, ungkap Malik, PBNU merekomendasikan ke pemerintah agar melakukan vaksinasi kepada para jamaah haji dengan memakai vaksin yang halal berdasarkan syari’i. Hal ini penting, agar jamaah haji mendapat rasa nyaman dan kekhidmatan beribadah. Selain itu, masyarakat dihimbau tidak terlalu resah dengan informasi apapun terkait vaksin meningitis yang belum jelas.
Ketua LBM-NU, Zulfa Musthafa, mengemukakan berdasarkan informasi dan pemaparan sejumlah pakar dalam sidang LBM-NU diketahui bahwa semua produk vaksin meningitis pernah bersinggungan dengan enzim babi. Termasuk produk yang dikeluarkan oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal Vaccine produksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd. Akan tetapi, secara kesuluruhan hasil akhir produk-produk tersebut dinilai telah bersih dan suci.
Zulfa menuturkan, dalam pembahasannya, LBM-NU tidak terpaku pada produk tertentu. Tetapi, pembahasan lebih menitik beratkan pada proses pembuatan vaksin. Hasilnya, secara umum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan. ”Dengan demikian, vaksin jenis Mancevax ACW135 Y, produksi Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham Pharmaceutical, Belgia pun bisa dinyatakan halal,” tandas dia[6]
Kemudian kami cantumkan juga fatwa Ulama yang diakui keilmuannya oleh dunia
- Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,
“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau menjawab,
“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.[7]
2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjidhafidzahullah
Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs islam terkenal www.islam-qa.com
Dalam fatwa beliau mengenai imunisasi dan valsin beliau menjawab. Rincian bagian ketiga yang sesuai dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi memberi manfaat yang lebih besar. Syaikh berkata,
“Rincian ketiga: vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan (mubah ini) mempunyai efek yang bermanfaat.
Vaksin jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.”[8]
Semoga penjelasan dan fatwa ulama bisa membuat hati kita menjadi lapang dalam menyikapi pro-kontra vaksinasi dan tidak membuat kaum muslimin berpecah belah akan tetapi saling menghormati pendapat yang ada sandaran ulama yang mu’tabar (diakui ilmunya).
Demikian semoga bermanfaat
@Klinik Gading, Yogyakarta tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , Follow facebook dan follow twitter
[1] Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal
[2] sumber: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/fatwavaksin.pdf
[3] sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin
[4] Mushannaf Abdurrazaq no. 8717
[5] sumber: http://www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-vaksin.html
[6] sumber: http://hileud.com/lbm-nu-semua-vaksin-meningitis-bisa-digunakan.html
[7] sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238
[8] Dirangkum dari sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/159845