Meluruskan Berita Tentang Vaksin MR “Jangan Berobat dengan Hal Najis”

Cukup banyak yang bertanya kepada kami berita berikut ini:
Judul awal oleh situs Republika cukup heboh, yaitu:
“VAKSIN MR BELUM HALAL, JANGAN BEROBAT DENGAN HAL NAJIS” (judul awal sesuai dengan tautannya)
Tapi setelah kita mengeklik tautan tersebut, nampaknya Republika mengubah judulnya menjadi:
“Vaksin MR Belum Halal, MUI: Segera Ajukan Sertifikasi Halal” (Silakan klik tautan untuk mengecek)
Akan tetapi yang menyebar lebih dahulu dengan cepat dan masif serta disebarkan oleh oknum antivaksin yaitu judul yang ada kata “NAJIS” terlebih ada kata “MUI”.
Akan tetapi situs Republika cukup profesional dan kami salut akan hal ini, karena situs Republika juga menyebarkan berita yang isinya berseberangan dengan berita sebelumnya yaitu “MUI menjawab antivaksin” dengan judul:
“Jawaban MUI untuk Dua Kelompok Antiimunisasi”
Kami kutipkan sebagian isi artikelnya:
“Sedangkan bagi kelompok kedua yang meragukan kehalalan vaksin, MUI telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2016. Dalam fatwa tersebut ada enam poin yang diharapkan bisa mencerahkan masyarakat yang ragu terhadap imunisasi karena faktor kehalalan vaksin.”
Berikut tautannya:
Terkait dengan berita yang pertama yaitu dengan judul awal:
“VAKSIN MR BELUM HALAL, JANGAN BEROBAT DENGAN HAL NAJIS”
Tanggapan Kami Pribadi
1. Jangan Hanya Membaca Judul
Hendaknya jangan hanya membaca judul saja kemudian menyebarkan karena judulnya tidak tepat, seolah-olah vaksin MR mengandung najis padahal tidak.
Oleh karena itu judul artikel pun diubah oleh situs Republika sendiri.
2. Berita Bukan Sikap Resmi MUI
Berita-berita tersebut bukan sikap resmi badan MUI, tapi pendapat perorangan pengurus MUI, sehingga kurang bijak jika beritanya ditulis “MUI: …..”.
3. Vaksin MR Tidak Mengandung Unsur Haram
Vaksin MR sama sekali tidak memakai unsur babi atau yang diharamkan.
Bahkan dari sekian program wajib vaksinasi pemerintah, setahu kami hanya vaksin OPV saja yang memakai enzim babi sebagai katalisator (ingat enzim katalisator tidak ada dalam hasil akhir reaksi), jadi penggunaan enzim babi pada sebagian kecil vaksin, sedikit sekali, tapi mengapa info yang menyebar “vaksin itu ya babi isinya”, tentu ini tidak benar dan perlu kita luruskan bersama.
Dahulu sempat heboh karena vaksin meningitis haji memakai enzim babi, tetapi dengan perjuangan peneliti dan ilmuwan akhirnya bisa ditemukan vaksin meningitis yang tidak memakai enzim babi sama sekali bahkan MUI sudah mengeluarkan SERTIFIKASI HALAL VAKSIN MENINGITIS.
Silakan baca tulisan kami halalnya vaksin haji:
https://muslimafiyah.com/vaksinasi-haji-mubah-dan-bermanfaat.html
Tapi meskipun sudah dikeluarkan sertifikasi halal MUI untuk vaksin meningitis ternyata MASIH ADA saja oknum antivaksin yang mempermasalahkan.
Vaksin MR baru ada fatwa MUI saja, belum ada sertifikasi halal MUI, akan tetapi Kemenkes akan melakukan proses pengajuan sertifikasi hanya saja butuh proses, silakan baca berita berikut ini:
https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/ov2nm0
4. Mengenai Ketiadaan Sertifikat Halal MUI
Mengenai tidak ada sertifikat halal MUI, silakan baca tulisan kami:
Tidak Ada Sertifikasi Halal MUI = Haram?
- Patut kita syukuri bahwa di negeri kita ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meneliti dan memberikan fatwa mengenai halal-haramnya makanan atau obat dan kita berterima kasih kepada MUI.
- Akan tetapi timbul pola pikir yang kurang tepat, yaitu mempertanyakan dalil halal atau fatwa halal untuk makanan atau obat terlebih dahulu. Harus ada fatwa MUI dahulu baru jadi halal.
- Yang benar adalah, dalam masalah duniawi baik berupa makanan, obat-obatan dan masalah muamalah hukum asalnya halal, dan untuk menjadi haram perlu bertanya dan meminta bukti haramnya.
Kaidah mengatakan:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya.“
- Jadi tidak ada sertifikat halal MUI belum tentu otomatis haram.
- Fatwa MUI membantu kita untuk lebih yakin dan tenang untuk makanan tertentu.
- Hanya saja sekali lagi perlu memperbaiki pola pikir, jika tidak ada fatwa halal maka otomatis haram (ini pola pikir yang kurang tepat).
Baca selengkapnya:
http://muslim.or.id/23082-tidak-ada-sertifikasi-halal-mui-haram.html
5. Vaksin MR Jelas Tidak Mengandung Unsur Haram
Jelas vaksin MR tidak mengandung unsur babi atau yang haram lainnya.
Maka yang mengatakan vaksin haram HARUS mendatangkan bukti jelas (bukan sekadar ragu-ragu atau katanya) untuk mengeluarkan dari hukum asalnya yaitu suci dan mubah.
Bagi yang mengatakan ini syubhat, silakan baca tulisan kami berikut:
https://muslimafiyah.com/jawaban-bagi-yang-berkata-obat-dokter-dan-vaksin-hukumnya-syubhat.html
dan tulisan ini:
6. Permintaan Penghentian Vaksin MR
Ada berita juga yang menyebar luas, agar vaksin MR dihentikan karena belum ada sertifikasi halal.
Misalnya tautan ini:
Tanggapan kami: jika ingin adil, jangan hanya vaksin MR yang diminta dihentikan, harusnya hampir SEMUA obat dan infus dll dihentikan karena tidak ada sertifikasi halalnya, konsekuensinya:
- Kalau operasi jangan pakai obat bius karena belum ada sertifikasi halal.
- Infus juga belum ada sertifikasi halalnya.
- Mau tambal gigi juga bahan penambal, bius dan alat lainnya juga belum ada sertifikasi halal.
- Pengawet, pemanis makanan, kue dan camilan juga belum ada sertifikasi halal karena sebagian ada yang diimpor dari negara non-muslim.
- Coba cek permen yang akan dikonsumsi, mungkin ada pengawet dan pemanis buatan, itu apakah sudah ada sertifikasi halal atau tidak?
- Alat, bahan dan reagen praktik kimia, fisika, laboratorium lainnya juga belum ada sertifikasi halalnya dan ada yang diimpor dari negara non-muslim juga.
Maaf juga, kalau mau adil juga, ketika makan mi ayam di pinggir jalan:
- Ini ayamnya halal, Pak?
- Ada sertifikat halal?
- Ayamnya disembelih sesuai syariat, Pak?
- Oh ya, Bapak muslim, kan? Karena sembelihan orang musyrik haram.
- Oh ayamnya dibeli di pemotongannya ya? Yakin, Pak, di sana dipotong secara syar’i?
- Tukang sembelih lupa baca bismillah tidak?
- Kalau penyembelihannya secara syar’i, yakin tidak wadah dagingnya tidak bekas wadah babi?
Beberapa saat kemudian:
- Oh jadi ayamnya, Bapak sendiri yang sembelih dan dengan bismillah. Oh ya, Pak, ini kecap yang dipakai halal, Pak?
- Ini kecap kan sudah terkenal sekali, apa sudah ada sertifikat halalnya?
- Oh iya, micin dan penyedap rasa ini yang dipakai halal juga tidak, Pak? Jangan-jangan produk impor.
Beberapa saat kemudian:
- Nah, kerupuk ini halal tidak, Pak? Jangan-jangan tepung dan minyak goreng serta bumbunya tidak halal dan belum ada sertifikat halal.
Kalau sudah seperti ini, maka ini yang disebut “ghuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan takalluf (terlalu membebani)”.
Oleh karena itu, kemudahan dalam syariat yaitu hukum asal sesuatu adalah mubah dan halal sampai ada dalil tegas yang mengatakan itu haram.
Perhatikan kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi hadiah daging kambing oleh wanita Yahudi dan daging tersebut diberi racun.
Perhatikan yang memberi hadiah adalah wanita Yahudi. Memang sembelihan ahli kitab adalah halal. Tetapi jika telah NYATA dan ada bukti NYATA mereka:
- Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka haram daging tersebut.
- Menyembelih dengan cara yang tidak syar’i, maka haram daging tersebut.
Tetapi jika tidak ada bukti dan hanya prasangka saja, maka tidak bisa menghilangkan hukum asalnya yaitu halal. Apalagi kita ketahui bagaimana sifat Yahudi. Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima saja hadiah daging dari Yahudi dan daging tersebut dimakan oleh beliau.
Demikian semoga penjelasan ini bermanfaat.
@Gemawang, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com