Meninggalkan Suatu Amal karena Manusia Adalah Riya’
Maksudnya gimana nih? Bukannya riya’ itu “mengerjakan” bukannya “tidak mengerjakan/meninggalkan”? Jelasin dunk…
Jawab: Maksudnya mungkin adalah perkataan dari seorang tabi’in Fudhail bin Iyadh rahimahullah,
ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞِ ﻟِﺄَﺟْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺭِﻳَﺎﺀٌ ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞُ ﻟِﺄَﺟْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺷِﺮْﻙٌ
“Meninggalkan suatu Amal karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik .” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23:174)
Penjelasan ulama begini, ada RINCIANNYA: Perbuatan “meninggalkan amal” adalah termasuk perbuatan juga.
- Amal tersebut adalah sunnah.
Kalau wajib tidak boleh ditinggalkan karena manusia, justru amalan wajib HARUS ditampakkan misalnya shalat berjamaah di masjid, sedangkan amalan sunnah lebih baik disembunyikan, karenanya shalat rawatib (sunnah setelah shalat wajib), lebih besar pahalanya jika dilakukan di rumah. - Ini berlaku bagi mereka yang sudah RUTIN melakukan amal shalih.
misalnya rutin shalat dhuha, kemudian ia tinggalkan karena takut dipuji manusia, karena kebetulan sedang bersama-sama manusia. - Jika AWALnya sudah ikhlas (misalnya sedang shalat) kemudian ada bisikan “kamu tidak ikhlas” karena tiba-tiba ada yang melihat, Maka ia jangan tinggalkan shalatnya, TETAP shalat dengan berusaha dan berdoa agar tetap ikhlas dan “melawan rasa tidak ikhlas tersebut”.
Ini adalah “celah setan” berusaha menggagalkan amalan manusia.
Memang perkara hati dan ikhlas adalah yang paling berat, kita berusaha melawannya dan berusaha ikhlas dengan berusaha menjauhi pujian dan berharap balasan dari manusia.
“Berharap pada manusia, engkau bisa kecewa padahal engkau telah melakukan segalanya, tetapi jika berharap kepada Allah, ridha manusia akan datang dengan sendirinya”
Teringat perkataan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah
ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي
“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang LEBIH BERAT daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik.”
(Jami’ Al-‘ulum wal hikam hal. 18, Darul Aqidah, Koiro, cet.I, 1422 H)
Mari kita senantiasa mengoreksi niat kita, karena riya’ bisa lewat:
- Penampilan (wajah sayu dan memelas tanda tawadhu)
- Perbuatan (rajin shalat sunnah ketika ada manusia), dan
- Ucapan (sering memberikan nasehat, padahal riya’)
Perhatikan niat dan hati karena besar kecilnya balasan pahala tergantung dengan niat dan keikhlasan.
Semoga kita selalu bisa meluruskan niat kita, memurnikan TAUHID sehingga bisa masuk surga tanpa hisab dan adzab sedikitpun.
@RSIA Sadewa, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com